27 Maret 2013

Curhatan Rabu Penuh Cinta...

Alhamdulillah... nikmatnya malam-Mu ini Rabb...

Semalam ini, aku masih bisa dengan lincahnya menarikan jemari di atas keyboard, di temani nyanyian binatang malam dan gerakan-gerakan alam bawah sadar jiwa-jiwa yang kucintai. Aqilah dan Abu Aqilah, lelakiku.

Aku ingin bercerita tentang mimpi. Dimana kini aku tengah berlari mengejarnya. Aku tak ingin ketinggalan kereta. Bukan pula bermaksud untuk tergesa-gesa. Nyatanya selama ini aku sudah terlalu lama termangu tanpa upaya untuk bangkit. Dan untuk membayarnya, kini aku harus menyediakan porsi tenaga superbesar untuk bisa berlari, mengejar mimpi.

Nyatanya, sedikit bisa kugenggam. Sekalipun ketar-ketir, berharap genggamanku bisa semakin mengencang hingga bisa memuat lebih banyak impian tanpa takut, kepingannya terjatuh dan hilang. Do'a dan usaha, kuyakini itu sebagai kuncinya. Ridho suami dan ridho orangtua. Itu juga kuncinya.

Kau tau kawan, tiap kali aku akan mengirimkan tulisanku untuk event yang sangat sederhana sekalipun, aku selalu menyempatkan diri untuk meminta restu ibuku, juga suamiku. Bahkan ibuku sampai bertanya, "Lho, ini tulisan yang mana lagi? Yang kemarin gimana?"

Aku percaya, hasil itu hanya urusan-Nya. Urusanku ya hanya berusaha dan berdo'a. Apapun hasilnya. Sekalipun kadang harus sebisa mungkin mengatur kata ketika ibuku bertanya, "Lho, bukumu yang terbit di Proumedia itu gimana kabarnya? Kok nggak terbit-terbit? Bukannya sudah diterima? Bukumu yang lain, cepat aja terbitnya..."

Hmmm... susahnya menjelaskan perbedaan antara "Penerbit Mayor" dan "Penerbit Indie" kepada orang tua yang sama sekali tidak faham masalah itu, sama rumitnya ketika kamu lagi sakit gigi plus sariawan di bibir pula tapi maksa kepengen banget makan sop tulang. Oh ibuku... yang kupentingkan adalah ridho dan doamu. Tak pentinglah kapan buku itu terbit... Sudah di Acc saja, rasanya sudah kembali melecutkan semangat menulisku. Hari gini, novel perdana langsung di Acc penerbit mayor... Itu sudah merupakan berkah yang sangat luar biasa! Ini perihal ridhomu, bu... Sebab siapalah aku? kadar ilmuku pun pas-pas.an. Wajar jika nanti novel itu terbit, itu bukan hasilku, tapi itu hasil dari do'a ibu. Juga dukungan yang melangit dari lelakiku.

Allah yang Mahabaik... Engkau pasti mendengar do'a baik yang akhir-akhir ini sering digumamkan suamiku? Pasti. Aku percaya itu! Dan Kau juga pasti mendengar, bahwa setiap kali aku mendengar dengungan itu, semangatku untuk terus menulis, terbakar dengan hebatnya.
"Umi, nanti kita beli laptop satu lagi ya... biar Umi bisa lebih konsen nulisnya. Jadi kalau Umi nulis, Abi bisa jaga Aqilah sambil nonton kartun islami di laptop satunya."

Energi cinta, ternyata sedemikian indahnya! :'(

*Aku sudah mulai belajar menulis 'out of the box' lho... Menulis sesuatu yang 'tabu' dan sebelumnya belum pernah aku tulis... yeayyy!! Aku harus bisa menjadi apapun, siapapun, dengan kondisi apapun yang aku mau! Dengan begitu, potensiku bisa lebih tergali lagi... AMiiinn!! Do'akan aku ya, kawan...

#FF2in1- nulisbuku.com#2_Menanti Pelangi


“Ma… Kenapa sih Papa…” kata-kataku berhenti karena terdengar langkah kaki seperti hendak menghampiri.

Mama yang terduduk lesu di hadapanku, kini berdiri merapikan bajunya yang sempat lusuh. Lantas merapikan rambutnya dengan sesekali melirik pada kaca lemari yang berdiri di hadapan kami.

“Mama cantik!” seruku. Aku senang melihat bagaimana cara Mama menyambut Papa. Ada binar-binar yang tak kumengerti namun dalam kurasakan kesejukannya.

Mama tersenyum saja mendengarku bicara begitu. Mama juga selalu begitu tiap kali aku memujinya. Ia tidak pernah meresponnya dengan laku yang lain selain senyuman. Mungkin, jika sekali saja ia memberikan respon berbeda, setiap kali aku memujinya, ia akan kebingungan mencari respon yang berbeda.

Papa memasuki ruangan di mana kami berada. Langkah tegapnya yang khas seperti inilah yang membuat bulu kudukku selalu berdiri saat di dekatnya. Aku tidak nyaman. Sekalipun dia Papaku sendiri.

“Masuk kamar!!” bentak Papa, seperti biasa.

Aku lantas mengambil langkah seribu untuk menuju kamarku. Tanpa menunggu bentakan selanjutnya. Aku sudah cukup tersedak dengan bentakan pertama. Dan aku sudah cukup trauma.

“Kamu mau meracuni aku, hah! Ini kopi kenapa rasanya pahit sekali?! Sudah berapa tahun kita menikah dan kamu belum juga paham aku tidak suka pahit?! Istri macam apa kamu?”

“Maaf Pah, tadi Mama sudah kasih gula kok…”

“Halah! Sini kamu rasakan sendiri!!”

Aku penasaran, seringkali aku mendengar keributan semacam ini namun tak berani melihat apa  yang terjadi. Biasanya keesokan harinya aku hanya menemui jejak kebiruan di sudut bibir Mama, atau lebam di tangannya, atau jalannya yang pincang. Kali ini aku harus melihatnya.

Kuberanikan diri membuka pintu kamarku. Yang kusaksikan benar-benar seperti di film-film. Kopi panas itu telah mengguyur tubuh Mama yang kini berteriak histeris meminta tolong. Aku menangis sejadi-jadinya.

Lantas berlari sekuat tenaga menggapai pintu utama dan keluar mencari pertolongan. Tetangga yang tengah berkumpul di depan gang rumahku lantas segera menuju ke rumahku. Mereka telah faham. Sekalipun tak kuceritakan.

Salah seorang dari mereka menelpon polisi. Beberapa dari mereka membawa Mama ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Aku masih menangis tersedu melihat Mama terus mengipasi tubuhnya yang belepotan kopi.

“Papa tidak sengaja, nak! Jangan benci Papa ya…” sempat-sempatnya ia berkata begitu kepadaku. Wanita tercintaku ini, berhati seperti bidadari.

***

“Ma… pelangi!” teriakku sambil menunjuk lukisan indah sang MahaKuasa. Mama kembali bisa tersenyum. Senyum yang kurasa jauh berbeda ketika kami masih bersama Papa.

Ya… biarlah aku hanya punya Mama. Biarkan Papa merenungi perbuatannya selama ini. Badai dan hujan yang menggelapi langit pasti akan bergulung hilang di sapu biru terang. Lantas muncul pelangi menjadi pertanda keindahan dan kebahagiaan.  Hidup ini selayaknya indah. Sekalipun keindahannya tak melulu nampak di mata dan di hati. Justru dengan hadirnya hujan, petir, akan mengundang pula hadirnya pelangi yang indah. Dan aku percaya itu!

-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 27 Maret 2013 (2) oleh NulisBuku.com-

#FF2in1- nulisbuku.com#1_Tak Pernah Untukku...


“Hei… Udah makan?” tanyamu di siang yang terik ini.

Aku menjawabnya dengan senyum. Aku suka setiap kali kau tanyakan hal ini kepadaku. Dan ini juga yang selalu membuatku menunggu waktu makan tiba.

“Pasti belum! Kenapa harus nunggu aku, sih? ‘Kan bisa makan duluan…”

Aku kembali tersenyum, “Nggak enak makan sendirian…”

Kau lantas dengan sigapnya melangkah ke dapur lalu mencipta selaksa bunyi dari perabot yang kau sentuh di sana. Kau pasti sedang mempersiapkan makan siang untukku. Dan, aku suka.

“Mau disuapin?” kerling matamu membuat desiran darahku menguat. Oh Tuhan! Ingin rasanya kuhentikan waktu.

Seperti sebelum-sebelumnya, aku dan kamu menghabiskan banyak waktu bersama. Aku tak ingin pisah, sungguh! Sekalipun aku harus menempuh banyak cara, mencari berbagai alasan, bahkan mengorbankan banyak hal hanya untuk menikmati detik-detik kebersamaan denganmu. Tak sedikitpun aku merasa jenuh. Padahal kita telah bersama sejak lima tahunan lalu. Tapi rasa itu semakin menguat saja. Seperti candu. Aku bahkan berkali-kali sakau karena tidak bisa melihat senyummu, candamu dan menghirup wangimu.

“Ren, besok aku mau ke Jogja ya… Kamu mau ikut? Ada cuti nggak?” katamu.

Tentu saja batinku bersorak riang. Kemanapun kamu pergi, sekalipun mengorbankan banyak hal, aku rela. Daripada harus terkurung dalam kesendirian dan tidak dapat melihatmu 24 jam penuh.

“Ikut deh… Ntar si Bos gampang dikibulin. Kita bukannya udah lama ya nggak traveling.”

“Iya… makanya aku ajak kamu. Biar rame! Daripada aku suntuk ntar…”

Yeayyy… Rasanya aku mendadak punya sayap untuk terbang ke langit ke tujuh. Melewati taman bunga dengan wangi yang semerbak. Lantas berteriak pada kawanan burung bahwa aku sedang jatuh cinta. Kesekian kalinya pada orang yang sama.

***

“Ren, kita nggak sekamar nggak apa ya… Aku lupa kasih tau kamu kalau Bagas ikut. Tadi begitu tau aku mau ke Jogja dia langsung ngambil cuti dan nyusul ke sini. Nggak mungkin dong kita tidur bertiga satu kamar.”

Kata-katamu benar-benar membuatku seakan terhempas ke jurang yang teramat dalam hingga tak bisa lagi kutatap dunia. Aku sangat tidak suka kau menyebut-nyebut nama itu. Sebab dengan mendengar namanya saja, rasanya aku seperti tersengat halilintar. Mengembalikan imajiku ke alam nyata di mana aku, dan kau berada. Aku memang tidak akan pernah memilikimu. Sekalipun dapat kupastikan bahwa cinta yang kupunya melebihi cinta yang Bagas punya untukmu. Lihat saja, aku yang selalu ada untukmu. Saat kau sakit, saat kau kesepian. Bagas? Dia saja libur kerja hanya seminggu dalam tiga bulan. Apakah itu cinta?

“Makanya Reni, cepet nikah dong! Biar bisa jalan ber-empat. Aku kan nggak musti khawatir biarin kamu tidur sendirian.”

Lagi, dan lagi! Tak bisakah kau mengerti? Untuk apa selama ini aku berkorban? Aku tidak tertarik pada siapapun kecuali kau. Bahkan aku rela berpindah kota, dengan alasan pekerjaan untuk bisa melihatmu lagi setelah kau dipersuntingnya. Aku lantas memanfaatkan kondisi kesendirianmu untuk bisa ikut tinggal di rumahmu. Dan aku juga harus menahan rasa sakit yang seperti mencekikku tiap kali Bagas libur kerja dan menghabiskan banyak waktu dengan romantika bersamamu. Aku tau ini tak mungkin, aku tau kau akan tetap menjauh! Sekalipun begitu, aku tak menyesali pengorbananku. Sekalipun aku tidak mungkin menyatu denganmu, aku tetap cinta.

-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 27 Maret 2013 (1) oleh NulisBuku.com-

20 Maret 2013

He's Not Romantic, but he's love...

"Suamiku?" Dinda menghela nafasnya dengan malas. Tatapan teman-temannya yang menunggu beberapa kalimat lahir dari bibir mungilnya itu seperti menghujam jantungnya. Bagaimana dia bisa menjawab tatapan itu sementara yang terjadi padanya adalah kebalikan dari apa yang terjadi pada teman-temannya. Mereka semua memiliki suami yang romantis. Bunga, candle light dinner, kado, kejutan, piknik romantis, travelling, sudah pernah mereka dapatkan dari suami mereka. Dan kini mereka bertanya padanya tentang hal serupa.
"Suamiku sama sekali tidak romantis!" katanya tanpa ekspresi berarti. 
"Sudah 5 tahun menikah, Din? Sekalipun, Damar tidak pernah bersikap romantis?" Kata-kata Fifi semakin menyudutkannya.
Dinda menggeleng pasrah. "Suamiku memang tidak romantis seperti suami-suami kalian. Bahkan tidak seperti yang kuidamkan sebelum aku menikah, dulu. Tapi, suamiku adalah seorang laki-laki kuat, lembut dan sangat perhatian. Memang tidak ada bunga, candle light dinner, traveling, bulan madu. Tapi Damar tidak pernah tega membiarkanku sendirian mengurus rumah. Sepulang kerja, ia ikut membantuku memasak tanpa kupinta terlebih dahulu. Ia membantuku mencuci baju dan piring. Tak jarang ia membantu membereskan rumah jika aku sibuk mengurus si kecil. Ia juga selalu turun tangan menemani si kecil bermain. Dan yang membuatku selalu terharu, ia bahkan rela menghabiskan waktu mengambil alih tugasku ketika aku sakit. Tanpa mengeluh sedikitpun. sekalipun masakannya keasinan, sekalipun sambil bolak-balik dari dapur ke kamar untuk memastikan kondisiku. Sekalipun berhujan-hujan untuk membelikan makanan kesukaanku."
Dinda menghela nafasnya. Semua mata menatapnya dengan berbinar.
"Itu bahkan lebih dari romantis, Dinda! Kau harus banyak bersyukur.
Dinda tersenyum. "Sangat! Dia anugerah terindahku... I love him so much!"
"And we know, he love you so much too..." Inggrid menyentuh bahunya lembut.
Bersamaan dengan itu, sebuah pesan masuk ke ponsel Dinda.

Sayang, Ayah dan Afra sudah masak spesial buat Bunda, ditunggu di ruang makan ya... 

Dinda tersenyum, lebar sekali, "He's Not Romantic, but he's love..."

19 Maret 2013

Radar, 16 Maret 2013

http://radarindo.blogspot.com/2013/03/cerpen-di-batas-nafas-dyah-n-rizky.html


DI BATAS NAFAS
Oleh: Dyah N. Rizky

“Kita harus pergi dari sini jika tidak ingin anak dan istri kita kehilangan kita untuk selamanya.”
“Tapi siapa yang menjaga mereka selama kita mengasingkan diri?”
“Tenang saja, tentara-tentara itu tidak akan mengganggu mereka. Yang mereka cari hanyalah kaum pemuda dan laki-laki dewasa saja. “
“Tapi istriku tengah mengandung anakku. Mungkin akan lebih baik jika aku menemaninya disini!”
Aku mengabahkan pandang ke langit hitam. Tak ada satupun bintang. Mungkin mereka turut paham bahwa kami tengah kalang.
“Kau pilihlah! Jika tetap bertahan, maka bisa saja tentara-tentara penjajah itu menangkapmu dan mengirimmu ke pulau yang tak berpenghuni. Atau bisa saja mereka meracunimu hingga kau tak lagi bernyawa. Atau bahkan istrimu juga menjadi korbannya. Tapi jika kau ikut bersamaku, kemungkinan besar kita akan selamat. Sebab kita akan kembali jika tanah ini telah aman. Dan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita,” Parmin berkali mengguncangkan bahuku. Hanya dia satu-satunya temanku yang tersisa. Sementara yang lain entah dimana rimbanya.
“Aku ingin tetap disini. Menjaga sumpahku saat menikahi istriku!”
“Lalu bagaimana dengan tanah airmu? Kau lahir dan dibesarkan di Bumi pertiwi ini. Lalu saat tanah lahirmu sedang membutuhkan keringatmu, kau malah lebih mementingkan istrimu. Tak malukah kau?!” sebuah suara nan serak mengagetkanku dan Parmin. Sejenak kami terdiam. Beberapa kali saling pandang dan kemudian sama membuangnya ke semak-semak diantara pepohonan rindang tempat kami berpijak dan berjaga, siaga. Lelaki tua itu menghisap cerutunya. Aku dan Parmin tau pasti bahwa lelaki tua itu adalah Mbah Tarjo. Beliau adalah salah satu pejuang yang masih bertahan hidup saat banyak teman seangkatannya terlebih dahulu gugur menyumbangkan tetes darah untuk negeri.
Doooorrrrr… Dooooorrrrrr… Dooorrrrr…
Beberapa kali letusan dari arah yang sepertinya tidak jauh dari kami, memaksa kami untuk segera bersembunyi. Tak ada senjata laras pendek apalagi panjang yang kami gunakan untuk melindungi diri. Hanya sebuah ketapel dan sekantung batu yang setia menemani hari-hari kami yang kelam.
“Baiklah. Aku ikut! Tapi aku harus pamit dengan istri dan keluargaku. Setidaknya mereka bisa merelakan, seandainya aku benar-benar tidak kembali,” aku menghela nafas panjang. Kurasakan mataku berdenyut dan panas. Tidak! Aku tidak boleh menangis, gumamku dalam hati.
Parmin mengangguk. Bara dimatanya bak obor semangat yang turut membakarku. Sementara Mbah Tarjo sudah menghilang saja. Seperti biasanya, beliau sudah sangat terlatih untuk bergerak cepat.
***
Sepagi ini, aku dan Parmin telah melesat di belantara nan rindang. Menyatu dengan hingar bingar para penduduk hutan. Berbekal parang, beberapa bekal pangan dan tak lupa ketapel, kami membelah cakrawala. Suasana masih terasa aman sejak kami meninggalkan kampun ketika bulan belum pulang ke peraduan. Hingga kini mentari menyapa kami di ufuk timur. Meski beberapa kali menjumpai binatang buas, tak menyurutkan langkah kami untuk tetap masuk ke dalam hutan dan segera membuat tempat untuk berlindung. Sebab, jika ternyata kami masih dengan kampong, akan sulit bagi kami untuk beristirahat. Apalagi sampai menyalakan api. Padahal saat ini Indonesia telah memasuki musim penghujan.
“Coba lihat sejenak, apakah kita sudah pergi cukup jauh?” seruku sambil menunjuk sebuah pohon besar nan tinggi. Setidaknya, mungkin saja pohon itu bisa membawa pandang hingga ke kampong kami. Parmin segera memanjat pohon tersebut. Untuk urusan panjat memanjat, memang dia ahlinya.
“Aku rasa cukup! Kita bisa beristirahat sejenak!” wajah Parmin mendadak sumringah begitu kakinya kembali menjejak di tanah. Ia bergegas mengambil botol minuman dari dalam tas kain miliknya. Mungkin tas itu adalah satu-satunya harta peninggalan mendiang ibunya. Sebab, sejak ia lahir, ia tidak dapat mengenali ayahnya yang sudah tak berkabar.
Akupun mengikutinya, membuka bungkusan bekal yang dipersiapkan oleh istriku. Ada air, garam, gula, beras dan beberapa potong kue yang sengaja dibuatkannya untukku. Ku julurkan sepotong kue ke arah Parmin yang tengah lahap menyantap jambu yang didapatnya di perjalanan tadi.
“Perjalanan kita masih panjang. Kue itu masih bisa bertahan untuk beberapa waktu lagi. Sebaiknya makanlah dulu hasil alam yang kita temui di jalan.”
Kata-kata Parmin memaksa tanganku untuk kembali membungkus bekalku dan mengikutinya menyantap buah-buahan yang kami dapatkan di jalan. Parmin, aku banyak belajar darinya.
Doorrrrr… dooorrrr… dooorrrr…
Suara tembakan yang berkali-kali terlontar, kontan mengagetkan kami dan membuat kami segera kembali bersiaga. Nyawa kami sedang berada di ujung tanduk.
Doorrr!!!
Kembali dan semakin dekat. Suara itu membuat para penghuni hutan, lari tunggang langgang di hadapan kami. Dan kami, masih bertahan pada posisi tiarap dengan keringat yang semakin membanjir.
“Kau disini saja. Aku coba mengalihkan perhatian mereka. Sepertinya mereka sedang berburu binatang. Jadi, kemungkinan besar mereka tidak tau keberadaan kita. Kalau mereka sudah terpaku pada jebakanku, kau bersiaplah lari. Jauh ke dalam hutan. Aku akan segera menyusul!”
Belum sempat aku meng-iya-kan, Parmin sudah merangkak ke semak yang lebih rimbun. Lalu melejitkan sebuah batu dari ketapelnya. Para tentara penjajah itu segera mendekat ke arah batu yang dilejitkan Parmin. Aku lantas bersiap menjauh. Sebisa mungkin kulangkahkan kakiku dengan sangat berhati-hati agar langkahku tidak mengundang perhatian mereka. Lalu, setelah langkahku telah cukup jauh meninggalkan tempat semula, kutolehkan kepalaku dan mencari-cari sosok Parmin.
Dooorrrr!!! Dooorrrr!!!
“Merdeka!!!” sebuah teriakan lantang dari suara yang kukenal itu membubung ke angkasa. Pergikah kau Parmin?!
“Hei Indonesia! Bertahan disana!!” mungkin seperti itulah kata-kata dari suara dengan aksen bahasa yang sebenarnya tak kumengerti. Sementara aku menurut saja. Aku sudah pasrah akan nasib yang akan menyambangiku.
Mereka lalu mengikat kedua tanganku, mengambil bekalku dan memaksaku untuk ikut bersama mereka. Ternyata di mobil itu, tak hanya aku sendiri. Ada beberapa orang lelaki dewasa dan pemuda. Tapi tidak ada parmin disana. Gugurkah ia?!
“Kita akan dijadikan Romusha,” gumam seseorang yang duduk tak jauh dariku.
“Begitu lebih baik, daripada harus terbunuh dan mati sia-sia. Semoga setelah jadi Romusha ada sedikit celah untuk kembali ke kampung,” lelaki yang duduk tepat di sebelah kananku ikut menimpali.
“Namamu siapa? Darimana?” usai menimpali, lelaki itu mengarah padaku.
“Rahim. Dari dusun Karang,” jawabku singkat.
“Aku Firman. Dari dusun Tambak.”
“Kita tidak boleh kalah! Tanah ini tanah kita! Bukan tanah mereka!” pekiknya. Aku mengangkat alis. Perjuangan kembali dimulai.
***
Entah sudah berapa hari aku dan para Romusha lainnya terombang-ambing di laut luas. Kapal yang mengangkut kami tergolong besar. Sebab, tubuhku dan sendi-sendiku hampir patah rasanya setiap pagi harus membersihkan  seluruh lantainya. Begitupun dengan yang lainnya. Bekerja tiada henti, makan 1 kali sehari, tidurpun mencuri-curi waktu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku tertidur lelap. Rasanya sudah lama sekali.
“Kita hampir sampaii!! Kita hampir sampai!!” seru seorang pemuda dengan riangnya.
“Sampai dimana?” tanyaku.
“Dari pembicaraan mereka yang aku dengar, mereka akan membawa kita ke pulau Kalimantan. Dan mereka akan menjadikan kita tenaga kesehatan untuk menolong para tentara yang terluka.”
“Tentara mereka?!”
Pemuda itu mengangguk. Wajahnya berubah pias. Kamipun hanyut dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Teng…teng…teng
“Waktunya makan…” desisku. Perutku sudah sejak semalam tadi minta diisi.
Berlarian kami menuju ke dapur, tempat mengambil makanan yang telah dijatah. Aku mendengus. Makanan kali ini tidak cukup indah dibanding kemarin. Sepotong singkong rebus dan seekor ikan yang direbus tanpa bumbu. Tak apalah, diberi hidup saja aku sudah sangat bersyukur. Apalagi sampai bisa makan.
Belum habis singkong yang kugenggam, dataran nan hijau telah nampak dari kejauhan.
“Inikah Kalimantan?!” gumamku lirih.
Beberapa awak kapal telah bersiaga. Begitupun para tentara yang terus berjaga dengan moncong senjatanya. Nampaknya mereka takut sekali jika sewaktu-waktu kami melawan. Padahal sudah cukup jelas, kami tidak memiliki sebilahpun senjata.
Menit-menit berikutnya berlalu dengan gamang. Tidak ada nasib yang bisa kami reka setelah ini. Jika melarikan diri, mau lari kemana? Sementara yang aku tau, satu-satunya jalan untuk kembali ke ranah Jawa hanya laut. Lalu, harus menyerahkah?!
Seorang tentara membagikan kotak perlengkapan keselamatan dan tanda pengenal berupa selembar kain putih yang diikat di lengan kanan kami masing-masing. Ada setitik bangga terselip di dadaku, sebab misi kemanusiaan yang tengah kuusung. Semoga saja ada rekan sesama anak bangsa yang bisa kutolong.
Perlahan tapi pasti, kujejakkan kakiku di tanah Kalimantan. Sebuah pulau yang di peta terlihat seperti ayam –pun kaya akan alam. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Yang bertugas untuk masuk ke dalam hutan dan mencari korban untuk diselamatkan.
“Stttssss… Indonesia!” seru seseorang di antara rerumputan. Aku dan kawananku menoleh mencari asal suara.
“Kau Rahim, bukan?!” Aku mengerutkan kening. Ada yang mengenaliku?
“Aku Salim, dusun Karang!” serunya. Mataku berbinar dan segera memeluknya.
“Kapan kau sampai?” tanyaku.
“Aku sudah lebih dua minggu disini. Kau?”
“Aku baru saja sampai.”
“Istrimu sudah melahirkan. Kau sudah tau?”
Setitik air jatuh begitu saja dari pelupuk mataku. Tak bisa kubendung lagi.
“Laki-laki! Gagah sepertimu.”
Kembali, aku tak bisa berkata-kata.
“Tapi sebelum aku dibawa kemari, istrimu dinikahkan dengan anak kepala dusun, si Tarman. Sebab mereka mengira kau telah mati.”
Doorr!!
Tepat! Sebuah peluru menembus lengan kiriku. Wangi darah menguar basah. Perih dan nyeri yang kurasa tidak se-perih berita yang baru saja kudengar. Pandanganku mengabur, perlahan semuanya berubah menjadi gelap. Sampai disinikah jejakku berjuang di tanah negeri?!
***
“Merdekaaa!!!! Merdekaa!”
Suara-suara bising memekakkan telingaku.
“Rahim, kau telah sadar?” ku dengar sayup suara Salim.
Aku menggeliat. Namun perih masih menyucuk lengan kiriku.
“Indonesia telah merdeka kawan! Penjajah itu akan segera angkat kaki dari Bumi pertiwi.”
Aku tersenyum. Rasanya darahku terbayar sudah.
“Kau ikut kembali ke tanah Jawa atau tetap disini?”
Dengan tegas aku menggeleng dan menjawab, “Aku akan tetap disini. Sampaikan saja salamku pada anakku dan Ibunya. Suatu saat nanti aku pasti pulang untuk menjenguknya dan juga menjenguk keluargaku yang tersisa.”
“Baiklah! Bangun Kalimantan dengan tanganmu kawan! Buat kami bangga.”
“Merdeka!!” pekikku lirih.
                        ***

13 Maret 2013

[#FF2in1] Aku, Segalanya Bagimu

Pernah aku bertanya padamu, apa yang membuatmu bersedia menikah denganku. Kamu jawab satu, sebabnya adalah aku. Kamu bertanya kembali kepadaku. Mengapa aku memilihmu? Kujawab satu, sebabnya adalah kamu. Kamu fikir aku bercanda karena jawabanku sama. Lantas kamu memintaku untuk mencari jawaban lain. Tanpa fikir panjang, tanpa mengada-ada, langsung kujawab, "Sebab dihatiku hanya ada kamu. Sejak aku jatuh cinta untuk pertama kalinya dan meminangmu. Aku hanya ingin kamu untuk kucintai. Hari ini, esok, dan selamanya. Sebabnya karena cintaku itu kamu. Bukan oranglain."

Seperti pagi ini. Aku menyaksikanmu terduduk di sebuah kursi roda. Sejak setahun yang lalu. Saat usia pernikahan kita menginjak tahun ke 10.
"Kenapa Abang tidak menikah lagi? Aku sudah tidak seperti dulu lagi. Abang pasti membutuhkan seorang istri yang bisa diandalkan. Aku izinkan Abang menikah lagi. Aku ridho, Bang!" katamu. Aku melihat ketegaran yang terpancar jelas di mata indahmu. Aku melihat cinta dan kedamaian di sana. Dan aku kembali jatuh cinta. Entah untuk berapa juta kalinya.
Aku mengambil sepiring nasi goreng dari atas meja makan, beserta dengan sebutir telur ceplok yang sudah bisa kupastikan kelezatannya.
"Sekalipun tidak ada ini, Abang tetap tidak akan berubah. Di mata Abang, cinta hanya satu. Dinda! Abang tidak bisa jatuh cinta lagi pada oranglain." kataku sambil menyodorkan nasi goreng itu kehadapanmu. Kamu lantas tersenyum, indah sekali. Senyum itu yang membuatku selalu rindu. Dan selalu membuatku terpancing untuk mencium keningmu. Sebab lagi-lagi, aku jatuh cinta.


-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 5 Juni 2013 (1) oleh NulisBuku.com-

[#FF2in1] We Were Here...

"Lagi-lagi... Selalu seperti ini! Emangnya nggak bisa berubah ya? Sedikit saja..." Naya terus mendumal sementara tangannya tak henti bergerak membereskan rumah. Sejenak ia berhenti meluruskan pinggangnya. Memerhatikan sekelilingnya yang sudah terlihat lebih rapi dibanding sebelumnya.

"Pada kemanaan sih ini orang-orang? Ninggalin kotoran tapi nggak ninggalin jejak. Padahal udah tau aku paling nggak suka kotor gini!" Dibukanya pintu kamar Jihan, adik bungsunya. Kosong. Ia lantas beralih menuju kamar Farhan, adiknya yang lahir sebelum Jihan. Juga kosong.

Ia lantas mengikuti suara yang berasal dari kamar Fadlan, kakak sulungnya. "Pada kemanaan sih, Bang?" teriaknya dari depan pintu kamar Fadlan. Fadlan yang ternyata tengah menerima telepon dari temannya itu lantas terburu-buru membukakan pintu. "Nggak tau!" jawabnya singkat. "Eh, baru pulang ya? Tuh, tadi Abang sempet beliin Rainbow Cake. Moga belum dihabisin Jihan ya..." sambung Fadlan sambil mengerlingkan matanya, nakal.

Fiuuhh... Naya mengembuskan nafasnya utuh. Baru pulang kuliah, ketemu rumah berantakan kayak kapal pecah, gerutunya tak juga mereda.

***
"Naya!!" teriak seseorang dari seberang sambungan telepon.
Naya yang baru terbangun dari tidurnya sontak terkejut. "Heh! Siapa nih?"
"Gila! Baru bangun ya? Enak-enakan tidur di rumah. Malah si Jihan yang disuruh ngantar makalah ke kampus. Kasian tau!"
"Jihan?"
"Iyee... Kamu nggak usah balik ke kampus. Makalahnya udah aku serahin ke Pak Yos."
Degg... Hati Naya yang masih menyimpan dongkol karena lelah membersihkan rumah, perlahan mulai membaik. Ia melangkahkan kaki keluar dari kamarnya. Fikirannya masih terbang ke Jihan.
"Taraaa... Silahkan dicicipi..." Farhan yang menyadari kehadiran kakaknya di dapur, langsung menyambutnya dengan sumringah. "Kakak kan udah capek bersihin rumah, sekarang waktunya makan!"
"Lagian kenapa sih hobi banget ngotorin rumah? Dikira kakak nggak capek ngeberesinnya? Coba aja Mama sama Ayah masih ada, bakal kena marah tuh kalian semua!"
Mendengarnya, air muka Farhan berubah...
"Eittss... napa tuh muka? Mau nangis? Eh, jangan dong! Kakak ngomong begini biar kalian tuh bisa bantu kakak jaga kebersihan rumah ini."
"Udah... sekarang waktunya makan!" Fadlan tiba-tiba muncul dari arah belakang. Mencairkan suasana. "Lusa, kita liburan ya... Abang udah pastikan jadwal kalian nggak akan bentrok sama liburan kita."
"Kita kemana Bang?" mendengar kata liburan, Farhan langsung pasang aksi.
"Puncak..." Fadlan, dengan gaya santainya mencomot tempe goreng ala Farhan.
"Ikuuuuuuutt!!" sebuah suara yang memekakkan telinga memaksa pandangan mereka beradu pada satu sosok gadis kecil nan menggemaskan itu.
"Jihaaaannnn!!" teriak Naya. Ia segera berlari memeluk adik kecilnya itu.
Air matanya menetes menahan haru. Sekalipun orangtua telah tiada, tak ada yang bisa menggantikan posisi saudara. Sekalipun sifat mereka berbeda. Sebab hidup akan lebih berwarna karenanya.

-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 13 Maret 2013 (1) oleh NulisBuku.com-

Tips Memotong Kuku Anak

Kata 'Memotong Kuku' kedengarannya memang sangat sepele. Hanya sekedar memotong kuku. Tidak ada istimewanya. Ya, bagi sebagian orang memang begitu adanya. Tapi bagi para orang tua terkhususnya bagi kaum ibu, memotong kuku anak adalah agenda wajib yang tidak boleh terlewatkan. Mengapa? Berikut ulasannya...

Di dalam ajaran agama islam, memotong kuku bahkan telah diatur sedemikian rupa. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah: “Ada lima macam fitrah, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Muslim no. 258)
Ternyata, hal ini juga dapat dibuktikan dalam ilmu kesehatan, lho. Tidak percaya? Mari kita telusuri... :D

Mikroba Patogen merupakan salah satu perantara dalam siklus penyebaran penyakit, terutama penyakit pencernaan dan penyakit mata. Mikroba ini dapat hidup di kuku kita. Jika kuku kita panjang dan tidak dipotong, maka itu artinya mikroba tersebut akan tinggal dengan nyaman di sana. Apalagi jika kita tidak menjaga kebiasaan baik seperti mencuci tangan. Wah, bakalan tambah betal tuh mikroba patogennya. Jadi jangan salahin mikrobanya kalau ternyata dia yang jadi penyebab mengapa kita terkena penyakit pencernaan ataupun penyakit mata. Kuku yang kotor juga menyimpan banyak kuman dan bakteri yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi. Jika tangan dan kuku kita kotor lalu kita berjabat tangan dengan orang lain, bukan tidak mungkin jika orang tersebut terkena penyakit karena bakteri yang berasal dari kuku kita, lho. Selain itu, jika kuku kita panjang, kita juga akan susah melakukan aktifitas kita. Bagi yang tidak terbiasa, hal ini akan sangat terasa akibatnya.

Pada anak, kuku panjang tentu akan menimbulkan banyak resiko yang tidak baik. Apalagi bagi anak usia 5 bulan ke atas. Mereka sudah mulai bermain dengan tangannya. Sedikit-sedikit memasukkan tangan ke dalam mulut. Bayangkan jika kukunya panjang dan kotoran-kotoran mudah bersarang pada kukunya. Lalu kotoran itu bertransmigrasi ke mulutnya dan masuk ke dalam tubuhnya dengan sangat mudah. Jika kekebalan tubuh anak tidak kuat, hal ini pasti akan berpengaruh pada kesehatannya. Belum lagi jika anak menggaruk bagian tubuhnya. Wah, bisa dipastikan, kuku panjangnya dapat dengan mudah melukai bagian tubuhnya itu.

Namun, memotong kuku ini nyatanya dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi para ibu. Si kecil yang sudah mulai aktif bergerak, tidak mau diam, pasti membuat adegan 'memotong kuku' menjadi lebih berwarna.

Seperti pengalaman saya ketika jadwal 'memotong kuku' Aqilah, tiba. Sangat terasa sekali tantangannya ketika Aqilah mulai berumur 5 bulan. Saat ia mulai aktif-aktifnya bergerak. Rasa takut dan gemas jelas muncul dalam benak saya. Takut jarinya terluka. Tidak tega melihatnya menangis, meraung-raung karena tidak suka saya mengganggu aktifitasnya. Sebagai 'ibu baru' yang belum berpengalaman, jauh dari orangtua dan mertua, jadilah pengalaman ini menuntun saya untuk lebih kreatif. Mencari alternatif agar kegiatan 'memotong kuku' menjadi kegiatan yang menyenangkan. Baik untuk saya, maupun untuk Aqilah. Sehingga saya tidak perlu 'berkeringat' hanya untuk menenangkannya, kejar-kejaran, mendekapnya dengan kekuatan ekstra. Apalagi harus meminta bantuan suami untuk memegangi tangan atau kakinya yang kukunya hendak saya potong. Wah, dramatis sekali kelihatannya. Tapi saya rasa, ini tidak hanya dialami oleh saya. Sebab beberapa teman yang saya ajak ngobrol tentang ini juga mengalami hal yang sama. Bahkan sampai anaknya berumur 3 tahun.

Sedikit tips dari saya:

1. Siapkan potongan kuku atau gunting kuku yang sudah ibu bersihkan sebelumnya. Jangan sampai, niatan ibu untuk membersihkan kuku anak dan menjauhkannya dari penyakit, malah menjadi sarana penyebaran penyakit. Pastikan potongan kuku atau gunting kuku yang akan ibu gunakan tidak karatan. Sebab hal ini sangat beresiko menimbulkan bahaya jika sewaktu-waktu, jari si buah hati terluka karenanya.

2. Ketika hendak memotong kuku anak, pastikan ia agar merasa berada dalam suasana yang nyaman dan akrab. Memastikannya bahwa ia bukan dalam kondisi yang terancam. Jadi, ibu tidak perlu memasang tampang seram agar anak menurut, ya. Sebab, kondisi itu justru akan membuatnya semakin meronta-ronta bahkan beralih menjauhi ibu.

3. Ajak anak bermain terlebih dahulu. Sebutlah kegiatan ini adalah kegiatan pemanasan. Mengapa harus ada kegiatan pemanasan ini? Jawaban saya, agar kegiatan ini sekaligus menjadi kegiatan pembelajaran untuk anak. Agar anak diajarkan untuk menjaga kebersihan dirinya sejak dini.

4. Ajak anak bernyanyi atau bermain dengan tema 'jari tangan atau jari kaki'. Kalau pengalaman saya, Aqilah biasanya saya ajak bermain tepuk tangan sambil bernyanyi: "Tepuk tepuk tangan suka suka..." seperti itu. Lalu lakukan variasi tertentu. Seperti: "Ini jari kananku... Ini jari kiriku..."

 5. Biasakan memotong kuku anak sesuai dengan urutan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini juga akan membuat anak terbiasa hingga besar nanti. Jangan lupa, ajak anak untuk mengucapkan Basmallah. Ibu bisa membantu anak untuk menuntunkannya dan juga mengajak anak untuk melafalkannya bersama ibu.




6. Buatlah sebuah variasi selama memotong kuku. Tentunya variasi untuk membuat suasana menjadi menyenangkan. Kalau pengalaman saya, biasanya saya membuat variasi bunyi setiap kali memotong bagian demi bagian kuku Aqilah. Misalnya setiap kali memotong satu bagian, saya barengi dengan bunyi kambing : "Mbeek... Mbeek..." Otomatis perhatian Aqilah akan terpusat pada bunyi tersebut. Saya akan kembali mengeluarkan bunyi tersebut pada bagian selanjutnya. Jadi, saya hanya mengeluarkan bunyi ketika saya bergerak memotong kukunya. Jika tidak sedang memotong kukunya, saya tidak mengeluarkan bunyi tersebut. Seperti yang sudah-sudah sih, Aqilah akan ikut menikmati kegiatan 'memotong kuku' dengan diiringi bunyi-bunyian itu.

7. Jika kegiatan memotong kuku telah selesai, berikan kalimat motivasi yang baik untuk anak. Biasanya saya berkata seperti ini: "Wah... Aqilah hebat, pintar, anak sholihah. Coba lihat kukunya. Sudah bersih 'kan!!"

8. Ajak anak mengucapkan hamdalah. Misalnya: "Sekarang, memotong kukunya sudah selesai. Bilang apa? Alhamduuu...lillaahh."

9. Kegiatannya belum selesai... Ajak anak kembali bermain seperti ketika kegiatan pemanasan. Kalau dalam olahraga, kegiatan ini disebut kegiatan 'pendinginan'. Mengapa harus demikian? Menurut hemat saya, kegiatan pendinginan ini sangat bermanfaat untuk kesinambungan kegiatan 'memotong kuku' selanjutnya.

Jika ibu melakukan kegiatan ini dengan senang dan kreatif, pasti anak juga akan merasakan hal yang sama. Tidak perlu lagi takut memotong kuku dan ibu juga dapat meminimalisir resiko luka pada jari anak. Sebab, jika anak merasa nyaman dan senang, ia akan dengan legowo menyerahkan kukunya untuk ibu potong. Jadi, ibu tidak perlu mengeluarkan keringat berlebih untuk kegiatan ini.

Selamat mencoba, ya bu. Semoga bermanfaat... :D





12 Maret 2013

Jejualan.com: Solusi Jitu untuk Toko Online Anda

 Ingin Membuat Toko Online? Sudah Memiliki Toko Online Namun Sepi Peminat? Mencari Solusi Tepat Untuk Permasalahan Toko Online Anda? jejualan.com saja!  




Besarnya pengaruh internet dalam kehidupan sehari-hari kini sudah merambah ke hampir seluruh aspek kehidupan. Sebagian besar orang dimanapun dia berada dengan beragam usia serta latar belakang, telah menjadikan internet sebagai media pilihan mereka. Banyak usaha yang berkembang dengannya. Banyak pula yang meraup sukses karenanya. 

Diantara sekian banyak usaha yang memanfaatkan fasilitas internet, yang terlihat paling menjanjikan adalah Toko Online. Banyak kalangan yang sekalipun menjual dagangannya di Toko offline yang mereka miliki, tetap juga mengandalkan media online untuk melariskan produk mereka. Seperti yang ramai kita jumpai sekarang ini. Toko-toko online sudah mulai mendominasi media jejaring sosial, blog, periklanan, terlebih jika kita mencarinya di search engine. Sebab, kini orang-orang sudah mulai beralih ke media online yang dapat mereka jangkau hanya dalam hitungan menit dan detik. Membeli apapun bisa dilakukan hanya dengan pilih barang, konfirmasi, transfer, barang langsung dikirim ke alamat tujuan. Tidak perlu mengantri di loket kasir. Tidak perlu lelah berbolak-balik untuk memilih barang yang pas. Tidak perlu kehujanan dan kepanasan untuk menjangkau toko tujuan. Tidak perlu juga menghabiskan waktu untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Toko Online tentu menjadi pilihan hemat dan hebat untuk para konsumen. Sebab pembelian dan transferpun dapat dilakukan sembari konsumen melakukan aktifitas lain, tentunya jika konsumen memiliki rekening bank dengan layanan E-Banking. Sekalipun sambil bekerja di kantor, sambil mengurus anak dan lain sebagainya, konsumen tetap bisa sambil berbelanja.

Jika anda salah satu diantara sekian banyak orang yang memanfaatkan layanan online untuk usaha anda, Jejualan.com punya solusinya! Bahkan untuk anda yang baru mau memulai usaha online dan bingung hendak memulainya dengan strategi apa, sangat beruntung kiranya anda berkenalan langsung dengan Jejualan.com. Beragam tawaran menarik dan menguntungkan tentu dapat berguna untuk memajukan usaha anda.

Sebab, Jejualan.com adalah sebuah wadah untuk Membuat Toko Online Murah yang fleksibel dan sangat ramah untuk usaha anda. Anda tidak perlu susah-susah mengikuti kursus pembuatan web agar dapat membangun Toko Online anda. Juga tidak perlu susah-susah mempelajari tentang pembuatan domain, serta mengecek ongkos kirim barang secara manual. Sebab, Jejualan.com adalah solusi yang sangat tepat untuk Toko Online anda.

Jika anda adalah seorang ibu rumah tangga yang ingin menambah penghasilan lewat Toko Online dengan menjual beragam produk yang sekarang sedang diminati banyak orang, tentu anda juga harus mencoba Membuat Toko Online Murah dengan Jejualan.com. Fitur-fitur yang terdapat pada Jejualan.com sangat mengerti anda. Sangat sesuai dengan apa yang anda butuhkan. Juga sangat mudah untuk digunakan. Sangat mudah pula dimengerti oleh konsumen anda. Bisnis anda sukses, konsumen anda puas. Kalau konsumen puas, maka Toko Online anda akan semakin diminati.

Berikut kami sampaikan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Jejualan.com:

 1. Website yang Menarik  

Jejualan.com memiliki tampilan website yang sangat menarik dengan pilihan demo yang dapat anda sesuaikan dengan jenis usaha anda. Anda tidak perlu susah-susah belajar pemrograman web untuk membangunnya. Cukup di Jejualan.com, website yang anda inginkan langsung tersedia.

2. Layanan Full 24 Jam  

Pelayanan inilah yang tidak banyak dimiliki oleh penyedia jasa pembuat Toko Online. Sehingga terkadang jika anda menemui kesulitan pada jam-jam tertentu, mereka tidak bisa melayani anda. Namun hal ini tidak berlaku di Jejualan.com. Sebab, kapanpun anda membutuhkan bantuan, Jejualan.com siap membantu anda.

3. Halaman Pertama Pada Mesin Pencari - Google  

Begitu banyak Toko Online yang mengisi jagat dunia online. Ratusan bahkan ribuan toko bersaing untuk mendapatkan konsumen. Jika anda memilih untuk membuat website sendiri, tentu anda harus mempelajari bagaimana agar mesin pencari - Google dapat melacak keberadaan Toko Online anda dan menampilkannya pada halaman pertama sehingga konsumen langsung tertarik untuk berkunjung ke Toko Online anda. Dalam hal ini, lagi-lagi Jejualan.com memudahkan anda. Dengan teknologi SEO yang dimiliki oleh Jejualan.com, Toko Online anda akan dengan mudah dilacak oleh search engine. Untuk anda ketahui, Search Engine Optimization atau biasa disingkat dengan SEO adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memudahkan suatu website agar dengan mudah dan cepat dapat ditemukan melalui search engine.

4. SMS Report  

Keunggulan yang satu ini juga sangat memudahkan anda untuk menjalankan Toko Online anda. Jika Toko Online ini merupakan kerja sampingan dan anda memiliki pekerjaan utama yang cukup menyita waktu anda, maka anda tidak perlu sering-sering melihat perkembangan Toko Online anda di Jejualan.com. Sebab, pemberitahuan tentang adanya transaksi, langsung akan masuk ke handphone anda dan handphone konsumen yang sedang bertransaksi di Toko Online anda. Pemberitahuan tersebut akan masuk dalam bentuk Short Messages Services atau SMS.

5. Terima Pembayaran Melalui Apapun  

Dalam hal ini, yang akan merasa dimudahkan tentunya konsumen anda. Sebab terkadang konsumen akan merasa kesulitan dan enggan berbelanja karena faktor cara pembayaran yang menyulitkan mereka. Dengan kemudahan ini, maka besar harapan, konsumen akan merasa nyaman berbelanja di Toko Online anda. Sebab di Jejualan.com pembayaran dapat dilakukan melalui transfer bank, paypal, dan juga dengan menggunakan kartu kredit.

6. Ongkos Kirim Otomatis  

Kebanyakan Toko Online akan menghabiskan waktu untuk mengkonfirmasi ongkos kirim secara manual. Harus benar-benar mengecek semua daerah tujuan untuk mengetahui jumlah ongkos kirim barang. Di Jejualan.com, anda tidak perlu repot lagi. Sebab ongkos kirim untuk produk anda akan terhitung secara otomatis. Mudah bukan?

7. Ratusan Fitur E-Commerce  

Proses jual beli produk anda juga akan didukung oleh ratusan fitur-fitur canggih yang sarat dengan manfaat untuk memajukan Toko Online anda.

8. Konsultasi Langsung dengan Pakar E-Commerce  

Di Jejualan.com, anda tidak perlu susah-susah mendatangi pakar E-commerce untuk melakukan tanya jawab dan berkonsultasi tentang strategi penjualan. Sebab, salah satu keunggulan yang ada pada Jejualan.com, pakar E-commerce akan menganalisa dan memberikan masukan untuk memastikan bahwa strategi penjualan yang ada pada Toko Online anda akan berhasil.

9. Marketing Tools  

Toko online anda juga dijamin akan lebih sukses dipromosikan dengan marketing tools yang ada di Jejualan.com, seperti kirim newsletter gratis, kampanye promo, kode kupon diskon, dan masih banyak lagi.

Contoh tampilan Toko Online di Jejualan.com


 Jejualan.com sangat dapat diandalkan sebagai  
  solusi jitu memajukan Toko Online anda! 

Segera daftarkan Toko Online anda untuk dapat membuktikan sendiri beragam keunggulan tersebut. Kami beritahu caranya, ya...

1. Berdo'a. Hal pertama yang harus anda lakukan sebelum memulai usaha adalah berdo'a. Meminta petunjuk pada Tuhan dan meminta kemudahan atasnya. Semoga usaha ini membawa berkah bagi anda dan orang-orang di sekitar anda. Sebab tanpa do'a, usaha anda akan sia-sia.

2. Bulatkan tekad dan persiapkan diri untuk memulai bisnis anda. Siapkan semua hal-hal yang mendukung promosi produk anda. Seperti produk apa yang akan anda jual, foto produk tersebut, dan menyiapkan spesifikasi produk yang akan anda promosikan. Juga persiapkan nama Toko Online yang akan anda buat. Jika sudah ada, pertimbangkan matang-matang apakah nama tersebut dapat memiliki nilai jual untuk Toko Online anda.

3. Lengkapi peralatan untuk mengakses internet. Seperti komputer, laptop, tablet, handphone, modem dan sejenisnya.

4. Daftarkan Toko online anda pada Jejualan.com dan gunakan fitur-fitur yang ada di dalamnya. Hanya membutuhkan waktu 20 detik. Maka Toko Online anda, telah siap digunakan!

5. Promosikan website anda. Sekalipun Toko online anda akan muncul di halaman pertama search engine, anda harus tetap mempromosikan website anda untuk hasil yang lebih memuaskan. Rajin-rajinlah berpromosi dan bersiaplah kebanjiran konsumen.

Jika anda bertanya, "Mengapa harus Jejualan.com?". Maka akan kami jawab: Karena, Jejualan.com menyediakan free trial selama 15 hari, agar anda dapat membuktikan sendiri beragam manfaat yang dapat anda pakai untuk menunjang Toko Online anda. Anda juga bisa menggunakan nama domain anda sendiri untuk Toko Online anda, sekalipun sebenarnya Jejualan.com telah menyediakan domain gratis untuk Toko Online anda. Selain itu, anda juga memiliki kesempatan untuk mengganti nama domain sesuai dengan keinginan anda.  Anda tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membayar biaya hosting. Sebab, Jejualan.com telah menyediakannya untuk anda. Karena domain yang disediakan oleh Jejualan.com gratis seumur hidup, maka anda tidak perlu lagi pusing menyisihkan penghasilan untuk membayar biaya domain. Anda juga akan mendapatkan diskon 10% jika anda langsung berlangganan Jejualan.com untuk jangka waktu 1 tahun. Hanya Jejualan.com yang memiliki fitur e-commerce terlengkap di Indonesia. Tidak percaya? Lihat demonya di sini. Anda bebas memilih untuk berlangganan minimal 3 bulan jika anda memilih paket platinum, dan berlangganan minimal 6 bulan jika anda memilih paket gold. Anda juga bisa upgrade ataupun downgrade jenis paket untuk Toko Online anda sendiri.

Tunggu apa lagi? Hanya Jejualan.com yang telah terbukti menjadi penyedia tok online yang sangat mudah digunakan. Menyediakan banyak pilihan desain yang menarik. Memberikan gratis biaya domain .com .net seumur hidup. Serta biaya untuk berlangganan yang sangat terjangkau. Hanya Rp 60.000/bulan untuk paket platinum dan Rp. 200.000/bulan untuk paket gold.

Ribuan Toko Online telah terbukti sukses menggunakan Jejualan.com. Ingin Toko Online anda menjadi salah satunya?

Buat Toko Online anda sekarang juga,
GRATIS 15 hari!

Dalam 20 detik, dan 1 langkah saja, 
anda sudah mulai dapat berjualan di Jejualan.com


Informasi Alamat

PT JC Indonesia

Jl. Perintis Kemerdekaan 33
Umbulharjo Yogyakarta 55161
Telpon (0274) 415585
Email: sales@jejualan.com


Jika anda membutuhkan bantuan kami, silahkan telp ke:
0857 41 444 520 atau sms ke 0857 30 700 700


- Artikel ini diikutsertakan dalam kontes review affiliate Jejualan.com-

Ingin Lebih Cantik?

Cantik? Satu kata dengan berjuta pesona yang memikat kaum hawa hingga melakukan segala macam cara untuk mendapatkannya. Siapa sih perempuan yang tidak ingin menjadi cantik di hadapan orang lain? Naluriahnya perasaan ini pasti dimiliki oleh semua perempuan. Tidak peduli usia. Sebab anak kecilpun akan berlaku sama untuk mendapatkan pujian dari sekelilingnya.

Mengapa harus cantik?
Cantik secara fisik nyatanya memang merupakan daya tarik yang sangat besar bagi seorang perempuan. Wajar jika kemudian 'berpenampilan menarik' dalam artian 'cantik' dijadikan salah satu syarat untuk melamar pekerjaan. Ya, untuk brand produk tertentu memang membutuhkan kecantikan sebagai daya tarik produk tersebut.

Pemikiran umum yang terjadi adalah: Ketika seorang perempuan cantik, ia akan mudah mendapatkan pekerjaan. Jika seorang perempuan cantik, ia akan banyak memiliki teman. Jika seorang perempuan cantik, ia akan mudah mendapatkan pasangan. Jika seorang perempuan cantik, ia akan disayang pasangannya. Jika seorang perempuan cantik, ia akan menjadi lebih percaya diri untuk tampil dihadapan orang.

Dengan anggapan seperti itulah akhirnya semua perempuan berlomba-lomba menjadi cantik. Begitu banyak brand yang kemudian muncul dan dipertontonkan secara bebas melalui media. Cantik itu kulit mulus, putih, berseri, bercahaya, tanpa komedo dan jerawat. Cantik itu tubuh semampai dengan lekukan-lekukan yang menyerupai biola. Cantik itu rambut hitam panjang lurus bak cleopatra. Cantik itu kulit halus, lembab, bersih, dan yang terakhir adalah bebas bulu... :D

Beribu macam produk kecantikan tersebar dari belahan dunia barat hingga ke timur. Beribu macam treatment kecantikan dengan beragam merek dan harga serta keunggulan yang ditawarkan juga terus bersaing mendapatkan simpatik dari para kaum perempuan. Aksesoris, fashion, dan segala macam yang berhubungan dengan penampilan perempuan, selalu memiliki daya tarik untuk diproduksi dan dipasarkan. Sebab nyatanya, produk-produk tersebut menjadi produk yang memiliki daya jual tinggi. Apalagi dengan jasa iklan yang 'wah' dan model yang tak kalah 'wah'nya. Sekalipun model yang dipakai jasanya itu memang sudah cantik dari lahirnya. Bukan karena produk yang diperankannya. Tapi sekali lagi, yang demikian itu adalah kepentingan iklan. Yang penting adalah menarik minat konsumen.

Tidak ada yang melarang perempuan, siapapun dia, untuk mempercantik diri dengan cara yang dipilihnya. Sah-sah saja. Selama tidak merugikan dirinya sendiri.

Dalam agama islam, kata cantik disebutkan sebagai 'qorrota a'yuun: penyejuk mata atau pandangan'. Jadi dalam konteks islam, siapapun yang menyejukkan pandangan orang yang memandangnya, maka bisa juga disebut cantik. Cantik dalam arti luas tidak hanya terpatok pada lahiriahnya saja tapi juga batiniah dan ruhaniahnya. Jika memang secara pandangan ia menyejukkan namun kelakuannya membuat darah tinggi serta sakit-sakitan, untuk apa?

Jika cantik secara lahiriah dapat dibuat dalam waktu kurang dari setengah jam dengan warna-warni serta pernak-pernik polesan, apakah hal itu juga terjadi dengan cantik secara batiniah dan ruhaniah? Tentu tidak! Sebab cantik secara batiniah dan ruhaniah itu adalah sebuah proses. Sebab air wudhu tidak serta merta membuat wajah bercahaya hanya dalam satu kali wudhu. Shalat juga tidak akan langsung memancarkan aura positif hanya dalam satu kali shalat. Seperti halnya polesan. Cantik yang bersifat inner beauty tidak akan didapatkan dengan cara instant. Karenanya tidak semua perempuan yang fisiknya cantik memiliki inner beauty.

Tidak sedikit lho, perempuan tanpa riasan apapun, yang malah tampak lebih cantik dibandingkan perempuan dengan fisik yang secara kasat mata terlihat cantik. Apalagi ketika perempuan tersebut kemudian dirias. Wah! Kelihatannya malah jauuuhhh lebih indah.

Cantik alami itu akan muncul dengan sendirinya sesuai dengan kadar keimanan kita. Frekuensi wudhu, tawadhu, dan ibadah menjadi acuannya. Memang tubuh perlu perawatan. Tapi jangan juga kemudian hanya mengandalkan perawatan yang bersifat tampilannya saja. Tapi nutrisi dan aura positifnya juga harus dijaga. Cantik, anggun, sopan dan kecantikan yang tidak diumbar, pasti akan menjadi lebih mulia dihadapan Allah.

Ingin menjadi lebih cantik? Sok atuuhh... :D


11 Maret 2013

Apa Adanya...

Apa adanya...

Kalimat pendek yang terkesan santai dan mengandung muatan yang "biasa saja". Apa adanya...
Tidak ada gregetnya... selain geregetan!

Terima aku 'apa adanya'... sering diucapkan. Termasuk aku.
Terima aku 'apa adanya', aku juga menerimamu 'apa adanya'...

Lama-lama mikirin kata-kata ini, nyatanya memancing sedikit kemelut pada jaringan-jaringan otakku.
Berarti kalau aku menerima dia apa adanya, tidak perlu ada peningkatan kualitas, dong? Skak, seperti apa adanya dia. Begitupun sebaliknya. Aku tidak perlu berubah untuk menjadi yang lebih baik dong? Terima saja aku seperti apa adanya aku. Dari dulu hingga kini untuk selama-lamanya. Aihh...

Kacau juga kalau pengertiannya jadi sesimpel itu.

Mungkin agak sedikit bisa kuterima jika 'apa adanya' itu untuk menyikapi kekurangan yang ada. Tapi kalau kelebihan yang ada juga diblock dengan kalimat 'apa adanya', ya tidak akan ada perkembangannya. Setiap orang memang dikaruniai kekurangan dan kelebihan oleh Allah Subhanahu Wata'aala. Membesar-besarkan dan menggali serta mempermasalahkan kekurangan seseorang memang tidak akan ada habisnya jika dibahas. Malah akan menambah daftar perseteruan, kekeruhan dan berakhir ricuh dan kisruh pada suatu hubungan. Baik hubungan antar masyarakat, tetangga, keluarga, saudara bahkan suami istri. Kekurangan itulah yang kemudian harus dapat diterima dengan legowo, lapang dada, dan 'apa adanya'. Karena setiap orang pasti punya kekurangan yang belum tentu dapat dirubah dengan cara yang instant.

Tapi apakah harus memukul rata semua kekurangan dan kelebihan seseorang untuk diterima 'apa adanya' saja? Tentu tidak, dong!

Kelebihan kalau diterima dengan 'apa adanya' saja, tentu tidak akan ada gunanya. Contoh saja, seseorang yang ternyata memiliki kelebihan dalam bidang masak-memasak. Namun setiap harinya hanya memasak sayur bening dan tumis-tumisan saja. Apakah orang lain bahkan dirinya sendiri, bisa tau kalau ternyata ia juga pandai memasak masakan Padang? Jika tidak diasah dan dikembangkan dan menganut pandangan 'apa adanya' saja. Ya, setiap harinya orang hanya bisa menikmati masakannya yang itu-itu saja.

Pastinya, jika kita menyayangi seseorang, kita pasti ingin orang itu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Contoh yang paling sederhana. Untuk apa Ibu menyuruh anaknya untuk sekolah? Jawaban umumnya adalah agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang pintar, sukses. Setelah lulus SD, Ibu meminta anaknya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu SMP. Begitu selanjutnya hingga kuliah Sarjana, pasca sarjana dan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Untuk apa? Agar tidak menjadi 'apa adanya', bukan?! Agar kelebihan yang dimiliki anaknya bisa lebih dan lebih terasah lagi.

Jadi jangan lantas merasa sakit hati jika ada orang yang memberikan saran semacam: "Jeng, jahitanmu bagus juga. Tapi bakal lebih ciamik lagi deh kalau lebih rapi dari ini. Terus modelnya lebih divariasi lagi..."
Sebab, itu artinya orang tersebut ingin kita lebih maju lagi. Bisa terus mengembangkan kemampuan aka kelebihan yang kita miliki.

Sejatinya manusia harus terus belajar. Harus terus mengasah kemampuan. Wajarlah kalau ada yang berkata... "Tuntutlah ilmu, dari dalam buaian hingga hari kematian."

Jangan mau menjadi 'apa adanya' saja! Tapi jadilah yang 'lebih dari adanya'. Sebab dengan begitu, pasti akan ada lebih banyak manfaat yang bisa kita bagi ke orang lain. Akan ada  lebih banyak kebahagiaan yang bisa kita tawarkan kepada orang lain. Dan kita akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak pula.

Jangan stop, teruslah melangkah!! Jangan berhenti bergerak. Sampai nanti, waktunya kita benar-benar beristirahat.







9 Maret 2013

Radar, 09 Maret 2013

ttp://www.radarindo.com/2013/03/bara-oleh-rizky-n-diah.html



BARA
Dyah N. Rizky
… Braakkkk!!!
Suara meja yang kuhantam keras membungkam semua kata yang menguar memancing kemelut batinku kembali.
“Nggak usah banyak omong ya, kamu!”
Hening. Semua mata menjadikanku satu-satunya objek tatapan mereka. Mungkin diantara mereka ada yang memandangku iba, mungkin ada yang takut juga, atau mungkin juga ada yang semakin benci karena melihatku berani.
“Siapa sih yang mau ada di posisiku sekarang ini? Abah kawin lagi, bawa lari uang desa, lalu entah kabur kemana! Kak Nala, kakak sulungku sakit leukimia, akhirnya meninggal tanpa sedikitpun dibayari sama Abah. Sekarang keluarga kami dikejar-kejar rentenir, polisi, sampai jadi omongan orang-orang! Termasuk kamu-kamu tuh! Seandainya ini terjadi sama keluarga kamu gimana? Mau?! Nggak kan? Sama!”
Kuacung-acungkan jari telunjukku ke wajah Nina, gadis yang berdiri di hadapanku ini,  yang air mukanya sudah berubah memerah. Kufikir, ia tak akan diam saja. Sebab ia akan benar-benar malu dan kehilangan muka jika teman-teman berbalik membelaku.
“Tapi kamu tetap nggak pantas sekolah di sini! Lebih baik kamu cari uang biar bisa kembalikan uang yang dibawa lari Abah kamu itu! Nggak usah mengotori sekolahan. Nggak usah buat orang simpati dengan kisah hidup kamu itu. Nggak ada yang kasihan!”
“Kamu itu yang mengotori sekolahan. Nggak pinter, banyak omong. Banyakin baca buku tuh biar bisa jawab soal ujian, biar lulus. Nggak usah urusin orang. Kamu nggak lebih baik. Orang-orang sudah pada tau, Abah kamu suka minta amplop. Uangnya buat kamu beli baju bagus, beli make-up, beli ini itu.”
Sempat kulihat ekspresi tak bersahabat Nona dari ujung mataku. Memang aku sengaja beranjak meninggalkan tatapan-tatapan yang berkerumun di kantin sekolah dimana aku berada di sana beberapa detik yang lalu. Lebih baik aku mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, agar nilaiku bagus, dan bisa melamar kerja guna menghidupi keluargaku. Menata kepingan-kepingan hidup yang hancur berantakan.
Aku tak habis fikir, mengapa Allah menunjuk keluargaku untuk menjalani hidup se-dramatis ini. Kadang aku berfikir, kisahku bak sinetron yang sering nampang di layar kaca. Bedanya, sinetron itu banyak rekaannya, sedangkan hidupku ini nyata.
Setiap sebelum tidur, aku selalu berdoa agar setelah aku bangun nanti keadaan keluargaku akan kembali seperti 6 bulan lalu. Dimana Abahku tidak tergoda dengan perempuan muda itu. Yang menurut cerita orang-orang, memang sering datang menggoda Abahku di kantor kepala Desa. Lalu menikah lagi dengannya. Lalu melarikan uang Desa yang diamanatkan atas nama jabatannya sebagai kepala bagian sosial. Kemudian menghilang bak di telan Bumi meninggalkan bencana bagiku, Mamaku, Kakak sulungku dan juga Adik bungsuku yang masih berumur 10 tahun. Membuat orang-orang menyudutkan kami sekeluarga.
Membuat sakit leukimia begitu ganasnya menggerogoti tubuh Kak Nala. Hingga berkali-kali menjalani cuci darah. Dan membuat Mama terpaksa meminjam uang kepada rentenir yang kemudian mengambil sebidang tanah warisan Mama sebagai jaminannya. Itupun masih menyisakan beberapa juta rupiah yang entah harus dibayar pakai apa. Hidup kami yang awalnya tak pernah cukup, kini semakin sulit.  Dan sakit itu semakin diperparah dengan kenyataan bahwa Abah tak pulang-pulang. Bahkan ketika jasad Kak Nala dihantarkan ke peristirahatan terakhirnya, Abah tak kunjung datang.
Dan kehidupan kami selanjutnya, seperti pesakitan. Teralienasi dari kehidupan kami sendiri. Tubuh Mama tergerus oleh masalah ini hingga menjadi sakit-sakitan. Lelah menghadapi rentenir dan polisi yang meminta keterangannya. Juga lelah menerima tamu sales-sales gadungan yang tak lain adalah mata-mata polisi yang sedang bersandiwara. Meski sudah kuteriakkan berkali-kali bahwa kami benar-benar tak tau keberadaan Abah.
Abah, lelaki yang dulu teramat kucintai. Lelaki yang sangat penyayang, santun, lembut, bertanggungjawab dan tegas. Lelaki yang menjadi patokanku dalam menilai seperti apa laki-laki idamanku kelak. Lelaki yang selama ini tak kuragukan cintanya kepada Mama. Bagiku Abah adalah pahlawan, pengayom, dan pemimpin yang baik untuk keluarga kami. Sebab Abah adalah satu-satunya lelaki di keluarga kecil kami. Ahh… betapa aku sangat mengagumi Abah. Aku selalu membanggakan Abah dihadapan teman-temanku.
Kini? Tak perlu ditanya lagi. Abah adalah lelaki yang paling aku benci. Keputusannya untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan Mama merupakan sebuah bom waktu yang ketika meledaknya menimbulkan luka yang perihnya sangat luar biasa. Pengkhianatan nyata dari seorang Abah. Lari dengan perempuan lain dengan membawa uang desa. Mungkin syurga dunia bagi Abah. Tapi justru menjadi neraka bagi kami. Tega-teganya Abah!!
Air mata tak bisa kubendung lagi. Rasa sakit ini sudah mencapai level stadium akhir. Akut. Tak ada obat yang mempan mengobatinya. Rasa benci terus saja terpupuk tiap kali aku melihat laki-laki. Aku seperti dihantui dendam dengan Abahku sendiri.
Kata-kata terakhir Kak Nala ketika ajal menjemputnya selalu terngiang. Menggema di relung-relung kalbuku. “Rep, jaga Mama sama Dian. Sekarang kamu yang jadi tumpuan keluarga. Sekolah yang pintar. Lalu cari kerja. Maafkan Kakak meninggalkan hutang karena sakit ini.” Ah!! Seandainya… ya, berjuta kata seandainya terus berseliweran di otakku.
Allah! Ya, aku masih punya Allah. Cukup Allah saja tempatku bergantung dan berserah diri. Sebab tak ada jalan yang buntu bila mengharapkan belas dan kasih dari-Nya. Semua ujian, dibaliknya, pasti terselip hikmah. Aku yakin, Allah menguji hanya dengan batasan kemampuan hamba-Nya. Semua pasti akan kembali baik, sebab dibalik kesusahan pasti ada kemudahan.
***
“Repa, bagaimana uang ujian kamu itu? Berapa banyak yang diperlu?”
“Nggak usah dipikirkan Ma, Repa sudah diberi keringanan sama sekolah.”
“Mama bingung, Rep. Jualan Mama nggak ada yang laku. Orang nggak mau beli jualan Mama. Apalagi minjami uang untuk sekolah kamu.”
Hatiku teriris. Mengapa dosa ini tertimpakan kepada kami? Jika begini keadaannya, bagaimana kami makan? Bagaimana kami hidup?
Ah, mungkin enak jadi Kak Nala. Ia kini telah tenang dalam tidur panjangnya. Tidak memikirkan hutang, polisi dan kejamnya mata orang-orang yang memandang. Meskipun sempat tersiksa dengan selang-selang yang dipasang di tubuhnya. Namun, itu adalah pengurang dosanya, bukan? Ia kini sudah bisa beristirahat dengan tenang.
Lalu kami?! Aku lelah mengutuk diri. Sembab di mataku bahkan tak sempat hilang ditambah sembab baru lagi. Seperti luka yang semakin menganga setiap detiknya. Tekadku sudah bulat. Aku ingin membawa Mama dan adikku pergi. Pindah dari kampung ini. Kalung hadiah dari Abah 2 tahun yang lalu, pasti masih laku kujual untuk bekal perjalanan.
Mungkin ini jawaban Allah atas doaku. Jika esok Allah mengizinkan kami untuk pergi, maka akan ada kehidupan baru atas kami. Aku yakin itu!
***
Udara kota ini segar. Sesegar nafas yang kutarik panjang hingga memenuhi rongga paru-paruku. Setelah harus memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah yang tinggal 3 bulan lagi, aku dan keluarga kecilku juga memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman kami.
Kini, kami terdampar di sebuah kota nun jauh dari kampung kami. Kemarin malam, saat semua mata tengah terlelap, kami berkemas. Tak satu jejakpun kami tinggalkan untuk mereka endus. Biarlah. Semoga Tuhan mengizinkan kami untuk memulai hidup baru dengan tenang. Uang hasil menjual kalungpun lumayan cukup untuk biaya perjalanan. Bahkan untuk menyewa sebuah kamar kontrakan. Kedepannya, aku berdoa, semoga ada yang berkenan memberiku pekerjaan. Setidaknya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Juga untuk sekolah Dian, adikku satu-satunya.
“Baru ngontrak disini ya. De?” seseorang mengagetkanku.
Seorang wanita berparas indah nan lembut menyapa dari kamar kontrakan sebelah. Ya, ia adalah tetangga baruku. Kuketahui itu, sebab sebelum sapaannya, terlebih dahulu kudengar derit pintu yang dibuka.
Aku mengangguk pelan.
“Nama saya Rita. Saya ngontrak di sini juga. Belum lama, baru 2 bulan.” Kembali ia berkata ramah. Senyum tulusnya nampak mengembang diapit lesung pipi yang membuatnya nampak semakin mempesona.
“Saya Repa. Saya disini bersama Mama dan adik saya. Tapi mereka sedang beristirahat.”
“Oooh… lain kali main ke kamar saya. Saya kesepian disini, keluarga jauh semuanya. Saya nggak punya teman.”
Aku mengangguk. Perempuan yang selanjutnya kupanggil Kak Rita itu kembali menyambung kata-katanya, “Suami saya kerja di tambang. Pulangnya jauh malam. Jadi ya, begini.”
Aku menjawabnya dengan senyum. Cerita terus mengalir darinya. Ia sosok yang baik. Ramai dan santun. Ia bahkan berjanji akan mencarikanku pekerjaan. Akhirnya… hidupku akan segera berubah. Hawa segar terasa meniup-niup rambutku yang tak mampu lagi kuurus.
“Sudah punya makanan untuk makan malam?”
Aku menggeleng. Aku belum memikirkan itu. Rasanya berada di kota ini saja sudah membuat selera makanku hilang. Aku terlampau senang. Bersemangat menyambut kehidupan baruku. Tapi aku punya tanggungan. Ibu dan adikku. Mereka pasti sangat kelelahan.
“Begini saja, bagaimana kalau malam ini kalian makan di kamar saya. Saya yang memasak khusus untuk kalian. Sebagai perkenalan tetangga baru.”
Melihat ketulusan di matanya, aku kontan mengangguk. Segera kukabarkan pada Ibu dan adikku untuk segera bersiap. Sebab mereka belum membersihkan diri sejak siang tadi. Sepertinya mereka benar-benar kelelahan.
Isya menjelang, segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi bersama yang terletak di ujung lorong kamar kontrakan. Tepat setelah kamar kontrakan Kak Rita. Aku mengambil air wudhu. Bersiap melaksanakan shalat di Masjid yang berada tepat di belakang deretan kamar kontrakan ini. Suasana Masjid memang sangat mendamaikan hati siapapun yang singgah di dalamnya. Sehingga dapat dengan suksesnya mencairkan segala beban hidup yang terasa berat menunggangi bahu.
Ingin rasanya waktu berhenti ketika sedang asyik bermunajat kepada-Nya. Agar setelahnya, tak perlu kembali ke masalah yang tengah dihadapi. Agar gundah tak perlu datang lagi. Tapi setidaknya aku sudah cukup lega. Terserah orang lain menilai keluargaku adalah pengecut yang hanya bisa lari dari masalah. Toh yang bermasalah dan yang membuat masalah adalah Abah, bukan kami. Jikalau uang itu juga dipergunakan untuk kehidupan kami, mungkin kami bisa nerima saja jika kami juga turut bertanggung jawab. Tapi ini, tidak sepeserpun. Bagaimana kami bisa rela?
“Abah, Kakak! Abah! Itu Abah!!” Dian menarik-narik punggung tangan kananku. Langkahnya terseok-seok menarikku mendekat ke sosok yang menarik pandangannya.
“Ma, Abah Ma! Itu Abah. Abah pasti mau jemput kita,” Dian juga menarik punggung tangan Mama dengan wajah sumringah.
Mataku mengerjap mencari-cari sosok yang ditunjuk oleh adikku. Beberapa orang tengah melintas di pekarangan masjid ini. Entah yang mana yang ditunjuknya.
“Itu Abah, kakak!”
Adikku berlari kencang memburu sosok yang diincarnya. Seorang laki-laki, aku tak begitu mengenalnya.
“Abah… Abah…!!” teriak Dian histeris.
Aku mengejarnya. Memburu sosoknya. Adikku bertambah histeris. Ia menarik-narik laki-laki itu.
“Abah, Kak!! Ini Abah!!” teriaknya nyaring.
Aku mendongakkan kepala pada sosok laki-laki yang membuat adikku histeris. Mama yang berdiri di belakang kami terpaku. Mungkin bingung mau berbuat apa. Antara percaya atau tidak laki-laki itu adalah Abah.
Remang cahaya lampu jalan membuat mataku tak begitu tajam menangkap wajah sosok lelaki di hadapanku. Lelaki itu sepertinya terkejut dan juga terpaku seperti Mama.
“Ini Abah, Kakak!!” lagi-lagi adikku berteriak nyaring. “Abah, Abah kemana saja.”
“Aduuhhh. Apa-apaan ini?” bentak laki-laki itu.
Nafasku tercekat. Suara itu…
Sorot motor yang lewat menerpa wajah lelaki itu. Dan akhirnya wajah itu nampak dengan sangat jelas. Ia bukan Abahku
“Ada apa ini?!” bentaknya lagi.
Aku mengambil Dian dengan segera. Mama yang menyadari hal itupun langsung memeluk Dian, mencoba menenangkannya.
“Maaf ya, Pak!” ucapku dengan nada menyesal yang tak kubuat-buat.
Sepeninggal laki-laki itu, Dian mulai terlihat tenang. Meski belum bisa kami bawa masuk ke dalam kamar kontrakan. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali tantrum. Ketika seorang laki-laki kembali melintas di jalan raya yang berada di hadapan kami.
“Abah, Ma… Itu Abah!!”
Dian kembali meronta. Susah payah aku dan Mama menenangkannya.
“Allaaah!!” Desisku penuh harap akan kekuatan-Nya.
 “Mari saya bantu…” suara lembut itu teduh di telingaku. Asalnya adalah Kak Rita, tetangga baruku.
            Ya Rabb!! Masalah ini juga menimbulkan efek yang tidak baik untuk Dian. Entah apa namanya… Intinya, aku berharap kekuatan saja. Semoga semuanya menjadi lebih baik. Satu lagi, aku berharap rasa benciku terhadap Abah bisa menghilang seiring berjalannya waktu. Sekalipun luka itu tak mungkin sembuh tanpa bekas. Sebab Abah tetaplah Abahku. Aku tidak ingin bara di hatiku jadi lebih membara lagi.
=selesai=

NB: Dedicated to Ukhti fillah!! My young sister in islam. Semoga Allah menerima amal ibadahmu dan menjadikan kisahmu sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Amiiinn.


Tentang Penulis :
Ibu satu anak ini bernama lengkap Rizky Nuryaning Dyah. Sejauh ini tulisannya sudah tergabung bersama rekan-rekan penulisnya di beberapa buku antologi. Seperti antologi cerita inspiratif “Cinta Membaca”, Leutika Prio 2012. Buku antologi cerita inspiratif “Kado Untuk Pasutri”, Pena Nusantara 2012. Antologi cerpen inspiratif “Gara-Gara Uang”, Ae Publishing 2012. Antologi cerpen “Secret Admirer #3”, Harfeey Publishing 2013. Dan sebuah novel solo yang akan segera diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor Indonesia. 
E-mail    : rizkyndyah@yahoo.com
Akun FB : Rizky N. Dyah