11 Juli 2014

Sekadar Kata-Kata

Sangat salut kepada para ibu yang berhasil mendidik anaknya dengan penuh kesabaran hingga dewasa.
Yang tak hanya satu, dua, tiga, empat, lima bahkan dua belas orang anak!

Sungguh, kehidupanku seperti terbalik 180 derajat ketika anak keduaku lahir dan kemudian tak memiliki waktu untuk menjadi seorang permaisuri dalam 40 hari pasca bersalin karena harus seorang diri mengurusi segala hiruk pikuk rumah usai bersalin 7 hari. 

Bukannya tak siap dengan keadaan, sejujurnya aku bahkan telah mengatur hari-hari ke depan sesaat setelah mengetahui kehamilan keduaku. Hanya saja semua yang tampak mudah itu tidak selalunya sama dengan fakta yang terjadi selanjutnya. Aku yang bahkan telah mempersiapkan Aqilah untuk menerima adiknya, kerap emosi karena tingkahnya yang tidak kuduga. Memang benar bahwa menjadi orang tua itu pembelajarannya seumur hidup. Belajar pada realita yang terjadi, bukan hanya sekedar teori. Dan akhirnya aku merasakan sendiri.

Aku faham betapa di usia yang baru lewat beberapa bulan dari tahun keduanya, meski bisa menerima keberadaan adiknya, ada faktor-faktor psikologis lain dimana Aqilah bisa langsung meledak dan mengundang emosi orang di sekelilingnya. Tingkahnya yang sebenarnya menggemaskan, dan merupakan bagian dari perkembangan kecerdasannya, kerap malah menjadi pemicu amarahku. Karenanya, meminta maaf adalah tindakan yang kini seringkali kulakukan padanya. Sabar, betapa mudah diucapkan. Betapa sulit dilakukan.

Tujuh hari usai melahirkan, aku benar-benar sendiri melewati hari. Bersama dua putri yang menyandarkan dirinya padaku. Ada rumah yang harus kuurus. Dan ada ragaku sendiri yang harus kupulihkan. Pekerjaan yang berat, sungguh. Mengingat aku terlalu bergantung pada orang lain semenjak menjelang persalinan. Dan yang paling utama, bergantung pada suamiku. Memang benar, tempat bergantung yang paling menguatkan itu hanya kepada Allah saja. Dan keadaan ini seperti menamparku keras untuk menyadari akan kealpaanku selama ini.  

Ah, nyatanya bukan hanya aku yang melewati keadaan ini. Aku yakin, sejak zaman dulu hingga kini ada kondisi Ibu yang jauh lebih payah dibandingkan aku. Dan mereka tetap kuat. Bagaimana denganku?

Anak adalah karunia, jika baru dua saja aku terus mengeluh lelah, bagaimana bisa membangun peradaban dengan perantara anak-anakku? Bukannya Ibu adalah cerminan bagi anak-anaknya. Sebagaimana aku meneladani Ibuku, ibu mertuaku serta ibu-ibu hebat lainnya. Ya, saatnya bangkit dan kembali bergerak. Tidak boleh cengeng! Dan harus terus belajar. 

Semoga tulisan ini bisa menjadi alarm bagiku ketika semangatku mulai mengendur kembali. 
Bismillaaah!!!

Memperjuangkan Sebuah Nama

Tak inginkan apa-apa...
Hanya berbagi kisah dan mengabadikannya...
Semoga kelak berguna...
Untuk siapa saja.

Akhir Mei 2014...

Kala itu jadwal pemeriksaan berkala kehamilanku. Hasil pemeriksaan dan perhitungan haid terakhir menunjukkan bahwa kandunganku telah masuk 9 bulan atau 36 minggu. Itu artinya, jika prediksi benar, maka dalam satu minggu ke depannya proses persalinan bisa saja terjadi. Ini adalah kehamilan keduaku. Tentu saja berdasarkan pengalaman anak pertama, hal-hal yang menyangkut persiapan persalinan sudah mulai kupersiapkan. Kondisiku saat itu cukup sehat. Begitupun dengan bayi di alam rahimku. Hasil pemeriksaan dengan USG pun menunjukkan hasil yang sama. Betapa senangnya. Sebagaimana wanita lainnya, tentu saja debar-debar menanti kelahiran sang buah hati, tak bisa kunafikan.

Juni 2014...

Kontraksi palsu, atau apapun sebutannya, aku tak begitu paham. Yang pasti rasa sakit dan mulas kurasakan seperti sudah mendekati waktunya. Apalagi ada tanda yang kudapati sekilas mirip dengan tanda persalinan. Bercak darah. Dengan demikian, akupun memutuskan untuk memeriksakan kondisiku pada seorang bidan. Bertambah kalutlah begitu mendapati bahwa terdapat pembukaan 1-2cm pada rahimku. Kufikir ini benar waktunya. Jika dalam kondisi normal mungkin persalinan akan terjadi selama 24 jam ke depan.

Tapi tidak, bahkan di hari-hari berikutnya. Aku merasa terus sakit saja. Memeriksakan kondisiku ke Puskesmas dan ke rumah sakit bahkan yang kudapati pembukaan yang maju mundur. Kecurigaan bidan yang memeriksaku bahwa kemungkinan terdapat lilitan tali pusat, nyatanya benar. Meski dokter kandungan menyebutkan hanya satu dan tidak kencang. Namun dari keterangan itu, sudah membuat faktor resiko pada proses persalinanku kelak bertambah lagi. Selain kondisi tubuhku yang mungil, pastinya. Akupun dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang sesuai.

Selama 3 hari 4 malam di rumah sakit dan berakhir pada pembukaan 2, aku dianjurkan untuk kembali beristirahat di rumah. Setelah sempat dioksigen karena denyut jantung bayiku melemah, karena disinyalir ia ikut stres menyaksikan ada banyak kasus persalinan dan kehamilan yang wara-wiri di hadapanku. Aku lantas mengikuti saran dokter dan melanjutkan ikhtiar di rumah. Dokter memberikan beberapa saran agar proses pembukaan rahim berjalan dengan cepat sesuai dengan yang semestinya. Tanpa ba-bi-bu ikhtiarpun tertunaikan begitu aku kembali ke rumah. Memperbanyak jalan kaki, dan ikhtiar lain yang disarankan orang terdekat, tak ada yang kulewatkan. Berdo'a tak putus sembari menahan sakit yang entah apa.

Mungkin bayiku adalah perantara Allah untuk menguji dan melatih kesabaranku...
Mungkin bayiku adalah perantara Allah untuk menggugurkan dosaku...
Mungkin memang belum saatnya...
Mungkin ada khilaf yang harus ditebus dengan lebih banyak do'a...
Serta mungkin yang lainnya.

Bermacam diagnosa bermunculan dari orang-orang sekitar. Apalagi akhir bulan ini, perhitungannya kandunganku memasuki bulan ke 10. Atau jika berdasarkan minggu sudah masuk 41-42 minggu. Allah saja tempatku mengadu gundahku.

Seandainya tidak ada rasa sakit dan fakta pembukaan rahim itu, mungkin aku masih bisa santai menikmati detik-detik akhir kehamilan keduaku...

Dan Allah mulai mengarahkanku pada situasi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Rasa sakit yang kurasakan kembali mengantarkanku menjadi pesakitan di rumah sakit. Kembali pembukaan 1, kata bidan. Beberapa jam setelahnya maju ke pembukaan 2, keesokannya baru maju ke pembukaan 3. Akhirnya dokter angkat bicara. Ia menyarankanku untu akselerasi proses induksi. Aku dan suamipun menyanggupi.

Subhanallaaah!!! Proses induksi berjalan sangat cepat. Jam 11 kurang 5 menit, infus dipasang di tangan kiriku. Jam 12 sudah mulai terasa sakit yang tak bisa kubahasakan. Jam 13.00 suamiku mulai mendampingiku melewatkan sakit yang.... hebat! dan akhirnya, jam 13.55, putri keduaku lahir dengan penuh haru dan tentu saja, bahagia... 28 Juni 2014, sehari sebelum Ramadhan.

Melihat geliat matanya, wajah ayu dan polosnya, rasanya semua usahaku terbayarkan. Lunas! Alhamdulillah ala kulli hal... Aisyah Azkiyatunnisa Sucitro, nama yang kami berikan padanya. Semoga bisa menjadi do'a yang baik bagi kehidupannya.

Terima kasih atas setiap do'a yang terpanjat untuk kami... Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Aaamiin.

10 Juli 2014

Pertama di 2014

Tidak terasa sudah cukup lama meninggalkan rumah mayaku ini. Sibuk dengan rumah nyata dengan segala rutinitas dan hingar bingar yang mengeruk segala daya konsentrasi yang kumiliki. Sudah banyak debu dan jaring laba-laba, waktunya ku untuk mulai berbenah. Membereskan yang terserak dan mengisi kekosongan tempat untuk berbagi, kembali. 

Sekedar informasi, sekaligus gambaran untuk menyusun kembali kata-kata yang ingin kubagi, beberapa bulan terakhir ini konsentrasiku terpaku pada kehamilan yang subhanallah... menjadi ladang bagiku untuk terus merenungi hakikat fitrah diri. Betapa aku hanya sebutir debu di antara Maha Luas dan Sempurnanya kekuatan Dzat Maha Pemilik Segalanya. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari-Nya saja.

Akan kubagikan ceritaku, sembari menyapu...

Kuharap kau tidak benar-benar beranjak meninggalkanku dan tak mau kembali lagi ke sini selama aku tak ada, kawan. Sebab tanpamu, apalah aku! :)