“Mungkin Abang memang nggak tau, atau mungkin nggak mau tau
gimana perasaan Neng selama ini sama Abang. Tapi Neng selama ini merasa benar-benar bodoh.
Dengan rela hati ditarik ulur semaunya Abang. Setahun Abang hilang begitu saja!
Neng coba membuka hati pada orang lain yang mungkin bisa menyembuhkan rasa
sakit hati Neng. Setelah Neng mulai bisa melupakan Abang, Abang malah datang
lagi memberi apa yang Neng harapkan. Ini nggak hanya terjadi sekali, Bang!
Berkali-kali.”
Tekadku bulat. Semua yang menyiksa batin ini harus
kuungkapkan. Aku tidak ingin bayangan ini menghantui hingga masa nanti. Aku
benar-benar ingin berhenti.
“Abang minta maaf Neng. Abang nggak menyangka kalau ternyata
sikap Abang sudah membuat Neng susah.”
Bukan!! Bukan maafmu yang kutunggu.Bukan kata-kata itu yang
ingin kudengar.
“Abang nggak salah. Yang salah itu Neng karena terlalu
banyak berharap sama Abang. Abang kayak gitu ke semua perempuan, kan? Nggak
hanya sama Neng, kan?”
“Neng… Abang sayang sama Neng. Tapi Abang sadar diri kalau
Abang nggak pantas jadi pendamping Neng.”
Aku menghembuskan nafasku kasar. Mencoba memperkuat
pertahanan agar tak goyah diterpa badai yang menyesakkan dadaku. Sekuat tenaga
kutahan lahar panas yang siap terjun dari mataku. Begitu banyak kata yang ingin
kusampaikan padanya. Tanya yang tak pernah terjawabpun sudah antri untuk segera
terlontar.
“Apa itu alasan kenapa Abang boleh datang dan pergi sesuka
hati Abang?”
Diam. Hening. Hanya derasnya hembusan angin pantai yang
menyibak pashmina unguku, yang mengambil alih perannya.
“Abang akan kembali Neng. Abang sudah berjanji pada diri
Abang sendiri untuk menjemput Neng. Abang sedang mempersiapkan semuanya untuk
Neng. Agar Abang layak bersanding sebagai pemimpin Neng.”
“Kenapa baru sekarang Abang buka suara? Kemarin-kemarin
Abang ke mana saja? Abang fikir gampang menjaga hati pada orang yang bahkan
nggak pernah ngasih kepastian apa-apa? Neng sudah seperti pesakitan karena
Abang. Begitu banyak kesia-siaan yang Neng lakukan demi menunggu sesuatu yang
nggak pasti. Banyak hati yang Neng sakiti tanpa sebab yang pasti. Dan Abang
masih bisa tenang saja kembali lagi tanpa beban.”
“Abang terlalu sibuk dengan dunia Abang sendiri Neng. Dunia
yang Abang bangun atas dasar ingin membahagiakan Neng di kemudian hari. Sedikit
lagi Neng. Semua sudah siap. Tinggal sedikit lagi. Sesegera mungkin Abang
jemput Neng.”
Aku menggeleng lemah. Sembari mencurahkan sesak yang sudah
berhambur membasahi wajahku. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk
bertahan pada kesia-siaan. Tinggal selangkah menuju impian, bukan suatu hal
yang mudah untuk melupakan.
***
Kupandang lelaki penuh cinta dan kasih sayang tulus yang
duduk di hadapanku. Memangku anak lelaki kecil yang tampan sepertinya. Dua
lelaki yang teramat sangat kucintai. Ia yang berhasil membuatku berani membuka
mata untuk dunia yang belum pernah kutatap sebelumnya. Keteguhannya membuatku
tak pernah menyesal memilihnya menjadi masa depan. Ia yang menggenggam jemariku
untuk tidak kembali ke masa lalu. Sekalipun masa lalu itu, kini duduk bersama
dengan kami. Ia masih sendiri, bersama masa lalu yang ia kekalkan sendiri. Masa
lalu yang tak ingin kujamah lagi.
“Rasanya dulu kita pernah makan satu meja juga ya, Neng?”
tanyanya.
Suamiku tertawa renyah. Tak ada kesan negatif dalam
tuturnya, “Tapi dulu belum ada saya dan Arkam ya, Bang!”
Ya, kita memang mungkin akan berada pada dejavu masa lalu.
Tapi kita tidak akan kembali.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D