28 Desember 2014

Pulang ke Rumahku

Tanggal 19 Desember hingga 23 Desember 2014 lalu, merupakan hari tutup tahun 2014 yang sangat mengesankan bagiku. Bagaimana tidak? Acara kuliah umum di kampus utama dibingkai sangat indah dengan silaturrahim keluarga. Di waktu yang tepat dan romantis.

Allah telah mengatur pertemuan yang sangat apik, rencana yang sangat teratur untuk kepulanganku kali ini. Bersama suami dan kedua anakku. Kami berangkat bersama rombongan rekan mahasiswa dan dosen menggunakan bis yang telah disewa. Ku ketahui Ibu dan Bapak memang sedang ada acara bersama kakak sulungku dan bertolak ke kota Raja, Tenggarong. Kami sudah memutuskan bertemu di kilo 38 Samboja, untuk kemudian kami dapat berpindah ke mobil Bapak.

Namun nyatanya kuasa Allah sangatlah indah. Tepat saat jalanan macet parah, udara dalam bis mulai membuat kedua buah hati kami jengah, telepon dari Bapak bak angin segar yang mendamaikan. Mobil Bapak tepat berada di belakang bis. Subhanallaaah... tak banyak kata, kamipun berkemas untuk pindah ke mobil Bapak. Anak-anakpun tenang kembali karen AC mobil Bapak yang mengusir penat mereka. Terlebih sambutan peluk dan senyum Ibu dan Bapak yang hangat. Senyuman dan pelukan yang selalu kurindukan.

Kegiatan kampus dan kegiatan refreshing bersama rekan-rekan mahasiswa selesai pada hari Minggu 21 Desember 2014. Kami memutuskan untuk tetap tinggal di Balikpapan, sementara rombongan melanjutkan perjalanan kembali ke Tanah Purai Ngeriman. Tak sanggup ragaku jika harus langsung kembali. Belum hilang penat di wajah anak-anakku yang meski lelah, tetap ceria bermain dengan sepupu-sepupu mereka.

Malam tanggal 21 Desember 2014, kakak ketiga memboyong kami sekeluarga menikmati hidangan di Rm. Torani. Kurasakan malam itu makanan begitu nikmatnya. Mungkin karena kebersamaan dan keharmonisan yang terjalin. Saudaraku lengkap berkumpul, sekalipun ada kakak ipar dan 3 keponakan yang tidak ikut. Namun tidak mengurangi sedikitpun rasa bahagiaku bisa berkumpul bersama mereka. Hingar bingar suara anak-anak, cerita dan canda tawa hangat. Semua begitu sulit terlupa.

Acara facial massalku sukses total. Kakak-kakakku mengantri merasakan perawatan wajah dari tanganku. Begitupun dengan Ibuku yang bahkan meminta waktu lebih untuk merasakan pijatanku yang tidak ada tandingannya. Hahahahaah.

Esoknya lapak facial kembali dibuka. Giliran para tetangga. Dengan bayaran yang sesuai dengan pelayananku yang seadanya. Hehehe. Lumayan, prospek bisnis MOMENTku berhasil mengajak salah satunya untuk bergabung. Tentunya dengan hasil yang bisa mereka buktikan sendiri.

Sore menjelang kepulangan, masih sempat kubawa anak-anakku bermain di pantai. Bersama saudara lengkap dan beberapa keponakan. Aqilah begitu antusias bermain air. Meskipun saat pulang sempat mengamuk sedemikian hebat karena tak sempat mandi begitu sampai di rumah. Keburu tidur sore.

Malamnya, kamipun pulang kembali ke tanah rantau. Bersiap menjemput hari esok dengan lebih bersemangat. Membawa angin segar dan hangatnya pelukan Ibu Bapak serta saudara semua. Semoga berjumpa kembali. Di waktu yang indah dan tepat. IN SYAA ALLAH. Thanks for all yaaaaa... miss u all as always.

15 Desember 2014

Dan... Ia Menyerah! (Masih tentang Persalinan)

Wanita yang kutaksir berumur sekitar 40 tahunan itu hanya dapat berbaring dengan gerak yang sangat sedikit. Sejak ia dipindahkan dari ruang tindakan dan menempati ranjang yang berjarak 1 ranjang dariku, geraknya sangat terbatas. Selang infus, selang untuk buang air kecil, dan tubuhnya yang lemah dengan perut yang buncit, mencipta bermacam spekulasi di fikiranku. Apalagi aku tipe orang yang mudah sekali penasaran.

Mataku tak lepas darinya. Apalagi ketika tangannya bergerak memanggil suaminya yang usianya mungkin tak jauh beda. Suaminya datang. Langsung mendekatkan telinganya ke wajah sang istri. Tanpa berkata apa-apa, Bapak itu langsung mengambil alat bantu untuk buang air besar. Diangkatnya tubuh sang istri agar alat tersebut dapat digunakan. Ia tutup tirai arah depan dan samping. Namun aku masih bisa memantau gerak-gerik mereka. Dengan sigap Bapak itu membersihkan kotoran istrinya, dengan wajah tulus. Tidak tampak jijik sedikitpun.

Dan yang semakin membuatku terharu, usai merapikan pakaian istrinya, membersihkan wajahnya dengan lap, ia juga menyemprotkan sedikit parfum dan mengusapkan bedak ke wajah istrinya. Dengan senyum penuh cinta. Mungkin Bapak itu ingin istrinya tetap merasa,  segar sekalipun sedang dalam ketidakberdayaan. Setelah membereskan semua peralatan, Bapak itu kembali duduk di samping istrinya sembari membenamkan wajah ke pundak istrinya dalam waktu yang lama. Kufikir, Bapak itu tertidur. Nyatanya memang ia tertidur.

Aku yang memang kesulitan memejamkan mata sejak kontraksi dan pembukaan maju mundur memperlambat proses persalinan. Dan aku baru sadar. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Pantas suamiku sudah tidak ada di sisiku. Ia melaksanakan tahajjud di musholla rumah sakit.

Keesokan harinya, tak tahan juga aku ingin bertanya. Apa yang terjadi dengannya. Dan mengalirlah cerita...

Ibu dan Bapak itu telah menikah selama 15 tahun, belum dikaruniai anak. Alhamdulillah segala ikhtiar membuahkan hasil. Meskipun harus istirahat total hingga bayinya lahir kelak. Ketika usia kehamilan masih 5 bulan ke bawah, Ibu itu masih bisa memenuhi hajatnya sendiri. Seperti mandi dan buang air. Namun, saat usia kehamilannya masuk 6 bulan, ujian mulai datang. Air ketuban sedikit demi sedikit keluar. Entah bagaimana penjelasan medisnya. Intinya saat itu kehamilan sang Ibu memasuki usia 8 bulan dan baru menyadari bahwa yang keluar itu air ketuban setelah dokter memeriksa dan mendapati air ketuban berkurang. Sejak usia kehamilan 6 bulan itu sudah mulai sering terasa nyeri. Bertambah bulan, bertambah pula rasa sakitnya.

Akhirnya diputuskan Ibu itu harus dirawat inap dan sama sekali tidak boleh bergerak. Suaminya bahkan harus cuti karena harus 24 jam mendampingi istrinya. Keluarga mereka jauh dan tidak dapat membantu dengan berbagai alasan. Jadilah, mereka hanya berdua menghadapi semua. Tidak mengharap pertolongan siapapun kecuali Allah saja.

Tepat ketika waktu isya, aku terbangun karena  suara bising di sekitarku. Rupanya ibu itu tengah terbatuk-batuk, sembari memegangi perutnya. Suaminya sibuk memanggil tenag medis. Sempat kulihat ia menunjuk-nunjuk sprei yang basah. Laa haulaa wa laa quwwata Illaa billaah... air ketubannya!

Ibu itupun langsung masuk ke ruang tindakan. Aku sempat mendengar lirih suara Ibu itu berbisik pada suaminya.
"Pah, ikhlaskan ya Pah, aku pasrah. (Lakukan) apa aja asalkan dede bisa lahir selamat. Aku pasrah Pah,"
Aku sempat melihat Bapak itu menyeka sudut matanya yang basah. Tidak berkata satu patah katapun.

Tanpa sadar aku ikut menangis. Dan merapal do'a untuk keselamatan Ibu itu dan juga bayinya. Sekalipun kondisikupun dalam keadaan yang tidak baik.
Hampir semua orang di ruangan itu nampak terharu. Beberapa saat kondisi ruangan sangat hening sepeninggal mereka. Meski akhirnya kembali seperti semula.
Lalu aku tidak tau lagi cerita persisnya. Semoga saja saat ini pasangan itu tengah berbahagia bermain bersama buah hati mereka. Seperti layaknya aku.

14 Desember 2014

Speechless: Ini Tentang Persalinan

SPEECHLESS!! Aku kehabisan kata. Tak mampu bicara. Hanya ada nelangsa.

Beberapa hari belakangan, Indonesia dikejutkan oleh berita yang diangkat oleh beberapa media nasional. Seorang siswi SMK, bersalin di kebun.

Singkat cerita, menurut pemberitaan media, seorang warga melihat seorang siswi berseragam smk turun dengan tergesa dari motor yang dikendarai temannya menuju kebun di samping rumah warga. Semula warga mengira siswi tersebut hendak buang air. Nyatanya, warga tersebut mendapati siswi itu berdarah-darah dan sesosok bayi lelaki masih berada di sisinya.

Allaaahu akbar!

Terlepas dari apapun yang dilakukan gadis itu, apapun yang menjadi latar belakangnya, Allah masih berkenan memberikan rahmatNya, mengaruniakan padanya seorang putra. Tentunya tidak semua kaum hawa dengan mudah diberi momongan. Ada yang sama sekali tidak bisa, ada yang tertunda hingga 15 tahun lebih, ada yang harus menjalani berbagai terapi dan treatment untuk mendengar tangisan bayi, pecah di tengah keharmonisan keluarga. Sekalipun banyak pula orang yang diberi namun malah menyiakan. Diberi, namun malah dibuang. Diberi tapi malah menghilangkan nyawanya.

Allaaahu akbar!!

Teringat dengan kisah para ibu yang bersamaku berikhtiar mempersiapkan proses persalinan yang tepat dan terbaik untuk sang buah hati. Perjuangan yang tak dapat dibayar dengan harta dan tahta. Perjuangan mempertaruhkan nyawa.

Yang pertama dan yang paling kukenang. Adalah seorang ibu berwajah kuyu dan sendu yang baru dipindahkan ke tempat tidur di sebelahku selang beberapa jam kelahiran putri keduaku. Usianya mungkin belum sampai 40, namun suaminya nampak berjarak usia yang lumayan jauh darinya. Mungkin berusia sekitar 50an lebih.

Ibu itu tersenyum getir melihatku menyusui bayi merahku. Akupun melayangkan senyum padanya. Ia bertanya, "Mbak dirangsang juga ya?" Aku mengangguk dan menjawab, "Iya, Bu."

Nampak dari sudut mataku ia melempar pandang pada suami yang duduk di hadapannya. Seakan memberi kode yang aku tak bisa menerkanya. "Berapa hari di sini?" Tanyanya.

"Saya sudah dirawat 1 minggu lalu bu, nggak ada kemajuan pembukaan jadi disuruh pulang dulu. Alhamdulillah kemarin sakit lagi. Walaupun dokter masih bilang pembukaannya lambat trus dokter memutuskan harus dirangsang."

"Dirangsangnya berapa hari?"

Kujawab dengan sumringah, "Alhamdulillah mulai diinfus dan dimasukkan obat jam 11 siang kurang, jam 1 lahir."


Lagi-lagi Ibu itu menatap suaminya, lebih lesu dari sebelumnya. Lalu menoleh kembali ke arahku. "Saya sudah diinfus rangsang ini (sembari menunjuk infus di tangan kirinya) 2 hari ini. Tapi... nggak ada kemajuan pembukaannya Mbak. Padahal kondisi saya sama bayinya sangat baik. Ini barusan dirangsang lewat anus. Kalau nggak berhasil, jalan terakhir ya operasi. Padahal udah seminggu di rawat di sini."

Kulihat ibu itu meneteskan air mata.

Allaahu akbar!!!! Masih banyak kisah lain yang ingin kuabadikan. Yang dengan mengingatnya saja sudah membuatku sesak. SPEECHLESS.

12 Desember 2014

Motivasi Menulisku: Antara "Passion" dan "Life"

Alhamdulillah 'alaa kulli hal...

Lama sekali rasanya nggak menghidupkan rumah mayaku ini. Sedikit curhat. Beberapa bulan belakangan ini, usai melahirkan putri kedua. Waktu terasa berlalu sangat cepat. Kuliah sudah masuk semester 7. Tentunya terpatok biaya yang seabrek. Mau nggak mau jadi pemburu job kuli ketik artikel freelance. Kerja sampai tengah malam. Sembari ngurus krucil. Dinikmatin saja dan hasilnya nikmat Subhanallaaah!!

Deg degan dikejar deadline, disertai tangisan krucil yang minta diajak main, yang besar minta dot. Asyik sekali rasanya. Hidup penuh warna. Tak ada waktu yang terbuang. Bahkan 24 jam terasa kurang. Pulang ngajar di SMP, berkutat dengan urusan dapur. Balik depan laptop sambil nidurin si kecil, denger murottal. Siang tiduran sama anak-anak sambil nyambi jualan via bbm, whatsapp, line, instagram, facebook :) Sorenya ngajar ngaji ibu-ibu sampai menjelang maghrib. Pulang shalat langsung berkutat lagi di dapur. Habis isya nidurkan anak-anak sambil nulis sambil jualan juga. Haha. Hidupku begitu asyik.

Kadang ada rasa sedih dan lelah juga. Sebenarnya ingin hobi menulisku ini hanya karena motivasi passionku, bukan karena faktor ekonomi. Tapi justru itu. Disaat ibu-ibu lain mungkin hanya bisa menerima jatah bulanan dari suami, justru aku berhasil membiayai kuliahku sendiri. Dari hobiku pula! Makanya aku sangat bersemangat membuka grup kepenulisan untuk ibu-ibu. Bukan karena aku pandai. Tapi aku ingin mereka juga membuka potensi mereka agar lebih berdaya guna.

Kalau selama 3 tahun menggeluti pekerjaan sampingan ini, semua artikel yang kutulis itu dikumpulkan dan dibukukan, bisa jadi berapa buku ya?! Padahal novel keduaku saja baru setengah dan belum bertambah-tambah jumlah halamannya. Hehe. The Power of Kepepet itu benar ya.

Alhamdulillah 'alaa kulli hal...

Apapun itu aku wajib bersyukur dan menjalani semua aktifitas dengan ikhlas dan bahagia. Tentu saja, apa yang ada dihidupku dengan segala warna warninya, tentu tidak dimiliki dan dirasakan oleh orang lain. Bagaimana rasanya menggendong Aisyah saat kuliah (Bersyukur Aisyah selalu tenang, dan dosen mengizinkan), memangku Aisyah saat menulis, mengajak Aqilah dan Aisyah mengajar pengajian ibu-ibu ke manapun. Sungguh, sekalipun jadwalku padat, rumah berhambur karena tak sempat kubereskan, yang terpenting tumbuh kembang anak-anakku sehari penuh berada di sisiku. Apapun kesibukanku, apapun tingkah mereka.

Alhamdulillah 'alaa kulli hal...

Tulisan ini bukan bermaksud untuk riya' atau sombong. Aku ingin menebar manfaat saja. Jika ada yang baik dan bermanfaat, semoga bisa dijadikan motivasi. Jika tidak, abaikan saja.

:)

11 Juli 2014

Sekadar Kata-Kata

Sangat salut kepada para ibu yang berhasil mendidik anaknya dengan penuh kesabaran hingga dewasa.
Yang tak hanya satu, dua, tiga, empat, lima bahkan dua belas orang anak!

Sungguh, kehidupanku seperti terbalik 180 derajat ketika anak keduaku lahir dan kemudian tak memiliki waktu untuk menjadi seorang permaisuri dalam 40 hari pasca bersalin karena harus seorang diri mengurusi segala hiruk pikuk rumah usai bersalin 7 hari. 

Bukannya tak siap dengan keadaan, sejujurnya aku bahkan telah mengatur hari-hari ke depan sesaat setelah mengetahui kehamilan keduaku. Hanya saja semua yang tampak mudah itu tidak selalunya sama dengan fakta yang terjadi selanjutnya. Aku yang bahkan telah mempersiapkan Aqilah untuk menerima adiknya, kerap emosi karena tingkahnya yang tidak kuduga. Memang benar bahwa menjadi orang tua itu pembelajarannya seumur hidup. Belajar pada realita yang terjadi, bukan hanya sekedar teori. Dan akhirnya aku merasakan sendiri.

Aku faham betapa di usia yang baru lewat beberapa bulan dari tahun keduanya, meski bisa menerima keberadaan adiknya, ada faktor-faktor psikologis lain dimana Aqilah bisa langsung meledak dan mengundang emosi orang di sekelilingnya. Tingkahnya yang sebenarnya menggemaskan, dan merupakan bagian dari perkembangan kecerdasannya, kerap malah menjadi pemicu amarahku. Karenanya, meminta maaf adalah tindakan yang kini seringkali kulakukan padanya. Sabar, betapa mudah diucapkan. Betapa sulit dilakukan.

Tujuh hari usai melahirkan, aku benar-benar sendiri melewati hari. Bersama dua putri yang menyandarkan dirinya padaku. Ada rumah yang harus kuurus. Dan ada ragaku sendiri yang harus kupulihkan. Pekerjaan yang berat, sungguh. Mengingat aku terlalu bergantung pada orang lain semenjak menjelang persalinan. Dan yang paling utama, bergantung pada suamiku. Memang benar, tempat bergantung yang paling menguatkan itu hanya kepada Allah saja. Dan keadaan ini seperti menamparku keras untuk menyadari akan kealpaanku selama ini.  

Ah, nyatanya bukan hanya aku yang melewati keadaan ini. Aku yakin, sejak zaman dulu hingga kini ada kondisi Ibu yang jauh lebih payah dibandingkan aku. Dan mereka tetap kuat. Bagaimana denganku?

Anak adalah karunia, jika baru dua saja aku terus mengeluh lelah, bagaimana bisa membangun peradaban dengan perantara anak-anakku? Bukannya Ibu adalah cerminan bagi anak-anaknya. Sebagaimana aku meneladani Ibuku, ibu mertuaku serta ibu-ibu hebat lainnya. Ya, saatnya bangkit dan kembali bergerak. Tidak boleh cengeng! Dan harus terus belajar. 

Semoga tulisan ini bisa menjadi alarm bagiku ketika semangatku mulai mengendur kembali. 
Bismillaaah!!!

Memperjuangkan Sebuah Nama

Tak inginkan apa-apa...
Hanya berbagi kisah dan mengabadikannya...
Semoga kelak berguna...
Untuk siapa saja.

Akhir Mei 2014...

Kala itu jadwal pemeriksaan berkala kehamilanku. Hasil pemeriksaan dan perhitungan haid terakhir menunjukkan bahwa kandunganku telah masuk 9 bulan atau 36 minggu. Itu artinya, jika prediksi benar, maka dalam satu minggu ke depannya proses persalinan bisa saja terjadi. Ini adalah kehamilan keduaku. Tentu saja berdasarkan pengalaman anak pertama, hal-hal yang menyangkut persiapan persalinan sudah mulai kupersiapkan. Kondisiku saat itu cukup sehat. Begitupun dengan bayi di alam rahimku. Hasil pemeriksaan dengan USG pun menunjukkan hasil yang sama. Betapa senangnya. Sebagaimana wanita lainnya, tentu saja debar-debar menanti kelahiran sang buah hati, tak bisa kunafikan.

Juni 2014...

Kontraksi palsu, atau apapun sebutannya, aku tak begitu paham. Yang pasti rasa sakit dan mulas kurasakan seperti sudah mendekati waktunya. Apalagi ada tanda yang kudapati sekilas mirip dengan tanda persalinan. Bercak darah. Dengan demikian, akupun memutuskan untuk memeriksakan kondisiku pada seorang bidan. Bertambah kalutlah begitu mendapati bahwa terdapat pembukaan 1-2cm pada rahimku. Kufikir ini benar waktunya. Jika dalam kondisi normal mungkin persalinan akan terjadi selama 24 jam ke depan.

Tapi tidak, bahkan di hari-hari berikutnya. Aku merasa terus sakit saja. Memeriksakan kondisiku ke Puskesmas dan ke rumah sakit bahkan yang kudapati pembukaan yang maju mundur. Kecurigaan bidan yang memeriksaku bahwa kemungkinan terdapat lilitan tali pusat, nyatanya benar. Meski dokter kandungan menyebutkan hanya satu dan tidak kencang. Namun dari keterangan itu, sudah membuat faktor resiko pada proses persalinanku kelak bertambah lagi. Selain kondisi tubuhku yang mungil, pastinya. Akupun dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang sesuai.

Selama 3 hari 4 malam di rumah sakit dan berakhir pada pembukaan 2, aku dianjurkan untuk kembali beristirahat di rumah. Setelah sempat dioksigen karena denyut jantung bayiku melemah, karena disinyalir ia ikut stres menyaksikan ada banyak kasus persalinan dan kehamilan yang wara-wiri di hadapanku. Aku lantas mengikuti saran dokter dan melanjutkan ikhtiar di rumah. Dokter memberikan beberapa saran agar proses pembukaan rahim berjalan dengan cepat sesuai dengan yang semestinya. Tanpa ba-bi-bu ikhtiarpun tertunaikan begitu aku kembali ke rumah. Memperbanyak jalan kaki, dan ikhtiar lain yang disarankan orang terdekat, tak ada yang kulewatkan. Berdo'a tak putus sembari menahan sakit yang entah apa.

Mungkin bayiku adalah perantara Allah untuk menguji dan melatih kesabaranku...
Mungkin bayiku adalah perantara Allah untuk menggugurkan dosaku...
Mungkin memang belum saatnya...
Mungkin ada khilaf yang harus ditebus dengan lebih banyak do'a...
Serta mungkin yang lainnya.

Bermacam diagnosa bermunculan dari orang-orang sekitar. Apalagi akhir bulan ini, perhitungannya kandunganku memasuki bulan ke 10. Atau jika berdasarkan minggu sudah masuk 41-42 minggu. Allah saja tempatku mengadu gundahku.

Seandainya tidak ada rasa sakit dan fakta pembukaan rahim itu, mungkin aku masih bisa santai menikmati detik-detik akhir kehamilan keduaku...

Dan Allah mulai mengarahkanku pada situasi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Rasa sakit yang kurasakan kembali mengantarkanku menjadi pesakitan di rumah sakit. Kembali pembukaan 1, kata bidan. Beberapa jam setelahnya maju ke pembukaan 2, keesokannya baru maju ke pembukaan 3. Akhirnya dokter angkat bicara. Ia menyarankanku untu akselerasi proses induksi. Aku dan suamipun menyanggupi.

Subhanallaaah!!! Proses induksi berjalan sangat cepat. Jam 11 kurang 5 menit, infus dipasang di tangan kiriku. Jam 12 sudah mulai terasa sakit yang tak bisa kubahasakan. Jam 13.00 suamiku mulai mendampingiku melewatkan sakit yang.... hebat! dan akhirnya, jam 13.55, putri keduaku lahir dengan penuh haru dan tentu saja, bahagia... 28 Juni 2014, sehari sebelum Ramadhan.

Melihat geliat matanya, wajah ayu dan polosnya, rasanya semua usahaku terbayarkan. Lunas! Alhamdulillah ala kulli hal... Aisyah Azkiyatunnisa Sucitro, nama yang kami berikan padanya. Semoga bisa menjadi do'a yang baik bagi kehidupannya.

Terima kasih atas setiap do'a yang terpanjat untuk kami... Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Aaamiin.

10 Juli 2014

Pertama di 2014

Tidak terasa sudah cukup lama meninggalkan rumah mayaku ini. Sibuk dengan rumah nyata dengan segala rutinitas dan hingar bingar yang mengeruk segala daya konsentrasi yang kumiliki. Sudah banyak debu dan jaring laba-laba, waktunya ku untuk mulai berbenah. Membereskan yang terserak dan mengisi kekosongan tempat untuk berbagi, kembali. 

Sekedar informasi, sekaligus gambaran untuk menyusun kembali kata-kata yang ingin kubagi, beberapa bulan terakhir ini konsentrasiku terpaku pada kehamilan yang subhanallah... menjadi ladang bagiku untuk terus merenungi hakikat fitrah diri. Betapa aku hanya sebutir debu di antara Maha Luas dan Sempurnanya kekuatan Dzat Maha Pemilik Segalanya. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari-Nya saja.

Akan kubagikan ceritaku, sembari menyapu...

Kuharap kau tidak benar-benar beranjak meninggalkanku dan tak mau kembali lagi ke sini selama aku tak ada, kawan. Sebab tanpamu, apalah aku! :)