13 Mei 2013

Dilema Adat

Aku terlahir dari Bapak dan Ibu dengan keturunan Jawa. Aku bangga terlahir dari kultur budaya yang sangat mengagumkan dari tata krama, sopan santun dan tutur kata yang terwarisi dan masih terjaga hingga kini. Sekalipun logatku sudah tercampur-campur dari berbagai suku di belahan Indonesia yang lain. Tapi identitas kesukuan yang mengalir dalam darahku selalu menghadirkan pesona.

Menuai beragam ekspresi negatif dan positif di dalam benakku. Dan semakin bertambahnya usiaku, semakin banyak keberagaman yang kutemui, pertanyaan demi pertanyaan berhambur dan merangsek mencari jawaban yang dapat mewakili ketentraman hati. 

Satu demi satu tradisi dan akar budaya yang masih lestari menarikku untuk kembali mengumpulkan pertanyaan yang senada dengan sebelum-sebelumnya. Ibu dan Bapakku memang orang Jawa, mengerti ritual-ritual yang biasa dilaksanakan dalam suku kami. Tapi beliau tidak pernah memaksa kami untuk menjalaninya jika kami tidak meyakini benar seluk beluk hal tersebut. Sebagaimana yang beliau lakukan juga.  Semua memang harus beralasan jika ingin diyakini. Dan aku tidak menemukan jawaban untuk meyakinkanku mengikuti semua prosesi itu. 

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk memecah belah kerukunan antar suku. Ini lebih kepada curhatan akan kegalauanku. Beberapa orang teman dari suku yang berbeda juga ternyata bernasib sama denganku. Belum mendapatkan jawaban yang pas dari pertanyaan yang mereka ajukan mengenai prosesi yang mengharuskan mereka untuk menjalaninya.

Setiap kali bertanya, jawabannya pasti sama pula: Sudah tradisi, memang sudah dari sananya. Atau: ya, dari dulu memang seperti ini. Dari zaman nenek moyang sudah melakukan ini.

Tidakkah ada jawaban yang lebih meyakinkan dibanding sekedar mengekor dari apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu? Ada dalil yang pas untuk penatalaksanaannya. Hukum sebab akibat, mungkin. Berasal dari mana, atas dasar apa? tuntunannya siapa? 

Jika sudah jelas seperti itu, para generasi muda seperti aku tidak akan setengah-setengah melestarikan kebudayaan adat. Tidak hanya sekedar "mengikuti" apa yang tidak sepenuhnya kami ketahui. Lantas jika tidak sesuai hati nurani dan pemikiran, lalu tidak menjalankan, dianggap melanggar aturan. Tidak memiliki identitas kesukuan. Tidak menghormati budaya para leluhur. Lebih parah lagi bila dicap tidak tau adat atau tidak beradat. Hhuhuu, sampai disini aku mau menangis saja.

Somebody help me! Aku tidak ingin berada dalam kepungan perasaan ini berlarut-larut. Bahkan "mbah" google-pun tidak terlalu paham mengenai asal mula ritual-ritual kesukuan itu. Jadi, apakah ujung-ujungnya aku harus bertanya pada rumput yang bergoyang?

8 komentar:

  1. Kalau mau merujuk sampai gamblang sih mungkin agak susah mak, tapi kalau arti/makna ritual-ritual itu secara umum, pastinya cenderung mengandung kebaikan, asal gak yang berujung syirik aja hehehe *menurutsaya*

    BalasHapus
  2. Iya, tapi selalu penasaran nih sama asal-usulnya. Habis tiap nanya, jawabannya pasti sama, itu-itu aja. Hehehhe :D

    BalasHapus
  3. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Kalo aku mensyukuri saja dehbisa hidup di negara yang kaya dan memiliki keunikan khas budaya :)

    BalasHapus
  4. hehehhe... iya mba. Bersyukur itu lebih baik ya :D selama masih bisa bersyukur, aman dah.

    BalasHapus
  5. Tapi memang kita perlu hati2 untuk mengekor dengan kata tradisi, karena ada beberapa yang dianggap syiri. Anak2 sekarang, anak2 saya selalu saya kasih pengertian masalah tersebut, tp Alhamdulilah mereka mengerti & yang prinsipnya berpeganga pada ajaran agama. Sukses terus ya Mba

    BalasHapus
  6. Mbak, barusan ada teman mem-post link buku ini di FB. Kayaknya lebih bisa menjawab, dan nggak itu-itu saja xixixi...
    http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,37794-lang,id-c,buku-t,Tradisi+Islami+Jawa-.phpx

    BalasHapus
  7. wah... terima kasih informasinya ya mba...

    BalasHapus
  8. Sebenarnya adat tradisi mandi / siraman air 7 kembang (bunga) itu murni dari Islam yang diangkat dari kisah 12 mata airnya nabi Musa, dimana didalamnya dikisahkan bahwa dari 12 mata air itu 8 mata air ada didunia dan 4 mata air lainnya ada disurga (hasil)

    Misalnya ada air sumber, air sungai, air hujan, air laut, air wudlu, air zam-zam, air buah (labu) dan yang ke delapan air larangan (nutfah), dimana air ke 8 ini akan didapat bilamana sudah menikah.
    Filosofi dari masing-masing air ini sudah banyak dibahas, misal :

    1. Banyu Kali. Maksude wong urip iku kudu ngerteni kahanan, dadio aweh seneng kanggone wong sing diparani (orang hidup itu harus menegerti situasi, menjadikan senang orang yang didatangi)

    2. Banyu Udan. Maksudnya kalau melangkah dan berkata membuat tentram semua khalayak. Bijaksana. Menjadi ayem pemikirannya orang banyak.

    3. Banyu Segoro. Maksudnya wong urip kudu jembar atine, jembar pikire, tulus koyo segoro (legowo dan luas pemikirannya, tulus ikhlas ibarat lautan)

    4. Banyu Masjid. Maksudnya wong urip bisa nyuceni awake dewe. Nyegah arane najise rogo najise batin kang aran mabuk. Mabuk cinta, mabuk harta, dsb kabeh2 kuwi datange atas kehendak Tuhan (orang hidup itu mampu membersihkan dirinya sendiri. Mencegah yang namanya 'mabuk', mabuk cinta, harta, takhta dsb semua itu atas kehendak Tuhan)

    5. Banyu Zam-Zam. Zam-zam artinya kumpul. Maksude wong urip kudu srawung nyawiji podo karo liyane, nanging kudu iso nguripi awake (orang hidup harus saling datang mendatangi, silahturahim, kumpul-kumpul dsb dengan lain-lainnya, namun harus bisa menghidupi diri sendiri).

    6. Banyu Sumber. Maksudnya wong urip iku kudu duwe sumbere agama. Sumber rezeki paling sedikit 5 sumber. Keder arane pikir yen kurang teko iku mau (orang hidup itu harus punya sumber agama. Sumber rezeki paling sedikit lima bidang. Bergetar pikirannya bila kurang dari itu tadi).

    7. Banyu Kelapa. Maksudnya sepi ing pamrih rame ing gawe. Ora ketok nyambut gawane nanging gede hasile (bekerja tanpa mengharap pujian, tak terlihat bekerjanya namun hasilnya besar).

    8. Banyu Nutfah alias banyu farji tegese banyune kontol. Maksudnya iku banyu larangane urip nanging ngurupi, yen ora bisa ngempet bakal dadi DABAH. Tegese nggateli arane ati, pikir dst (itu air larangan hidup tetapi bisa menghidupi, jika tak bisa menahan akan menjadi penyakit yang membuat sumpek pikirannya, hatinya dsb)

    No 1 s/d 8 disebut banyu WINDU. Orang Jawa Barat kalau mau menikah adus banyu 7

    Lalu air yang ke 9 ~ 12 itu merupakan hasil dari perkawinan, semisal air bening : menyejukkan, air susu : menyegarkan, air kasturi, air madu : menyehatkan serta air kasturi : mengharumkan tapi tidak memabukkan. Yang kesemuanya terangkum dalam syarat dan hukumnya perkawinan.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D