Sangat salut kepada para ibu yang berhasil mendidik anaknya dengan penuh kesabaran hingga dewasa.
Yang tak hanya satu, dua, tiga, empat, lima bahkan dua belas orang anak!
Sungguh, kehidupanku seperti terbalik 180 derajat ketika anak keduaku lahir dan kemudian tak memiliki waktu untuk menjadi seorang permaisuri dalam 40 hari pasca bersalin karena harus seorang diri mengurusi segala hiruk pikuk rumah usai bersalin 7 hari.
Bukannya tak siap dengan keadaan, sejujurnya aku bahkan telah mengatur hari-hari ke depan sesaat setelah mengetahui kehamilan keduaku. Hanya saja semua yang tampak mudah itu tidak selalunya sama dengan fakta yang terjadi selanjutnya. Aku yang bahkan telah mempersiapkan Aqilah untuk menerima adiknya, kerap emosi karena tingkahnya yang tidak kuduga. Memang benar bahwa menjadi orang tua itu pembelajarannya seumur hidup. Belajar pada realita yang terjadi, bukan hanya sekedar teori. Dan akhirnya aku merasakan sendiri.
Aku faham betapa di usia yang baru lewat beberapa bulan dari tahun keduanya, meski bisa menerima keberadaan adiknya, ada faktor-faktor psikologis lain dimana Aqilah bisa langsung meledak dan mengundang emosi orang di sekelilingnya. Tingkahnya yang sebenarnya menggemaskan, dan merupakan bagian dari perkembangan kecerdasannya, kerap malah menjadi pemicu amarahku. Karenanya, meminta maaf adalah tindakan yang kini seringkali kulakukan padanya. Sabar, betapa mudah diucapkan. Betapa sulit dilakukan.
Tujuh hari usai melahirkan, aku benar-benar sendiri melewati hari. Bersama dua putri yang menyandarkan dirinya padaku. Ada rumah yang harus kuurus. Dan ada ragaku sendiri yang harus kupulihkan. Pekerjaan yang berat, sungguh. Mengingat aku terlalu bergantung pada orang lain semenjak menjelang persalinan. Dan yang paling utama, bergantung pada suamiku. Memang benar, tempat bergantung yang paling menguatkan itu hanya kepada Allah saja. Dan keadaan ini seperti menamparku keras untuk menyadari akan kealpaanku selama ini.
Ah, nyatanya bukan hanya aku yang melewati keadaan ini. Aku yakin, sejak zaman dulu hingga kini ada kondisi Ibu yang jauh lebih payah dibandingkan aku. Dan mereka tetap kuat. Bagaimana denganku?
Anak adalah karunia, jika baru dua saja aku terus mengeluh lelah, bagaimana bisa membangun peradaban dengan perantara anak-anakku? Bukannya Ibu adalah cerminan bagi anak-anaknya. Sebagaimana aku meneladani Ibuku, ibu mertuaku serta ibu-ibu hebat lainnya. Ya, saatnya bangkit dan kembali bergerak. Tidak boleh cengeng! Dan harus terus belajar.
Semoga tulisan ini bisa menjadi alarm bagiku ketika semangatku mulai mengendur kembali.
Bismillaaah!!!