6 Maret 2013

Karunia-Nya


Sepuluh bulan telah berlalu sejak aku melahirkan bayi mungil nan menggemaskan ini. Aku dan suamiku sepakat memberikannya nama, Aqiilah Aziizatunnisa Sucitro. Dengan harapan dan doa penuh pada nama itu, agar kelak ia menjadi perempuan yang cerdas, juga perempuan yang kuat imannya, kuat batinnya dan kuat mempertahankan keislamannya secara kaffah. Bukan tanpa alasan, sebab aku melewati proses persalinannya hanya bertumpu pada kekuatan do'a dan keyakinan. Kelak, kuharap ia mewarisi hal itu juga disegala aspek kehidupannya.

Aqilah lahir pada tanggal 18 Mei 2012, hari Jum'at, ba'da Shubuh sekitar jam 05.20. Begitu banyak hikmah yang dapat kuraup dari proses penggadaian ruhku itu. Pertaruhan nyawaku dan nyawanya, begitu terasa. Bahkan sejak awal kehamilan pertamaku ini... Begitu banyak pelajaran hidup. Sungguh! Kau akan faham bagaimana ibumu berkorban untukmu, setelah kau melewati sendiri satu babak penting di kehidupanmu, melahirkan!

Ketika Aqilah berumur 3 bulan dalam kandungan, seringkali aku merasakan nyeri pada perutku. Tak bisa kubahasakan. Intinya, sakit saja. Awalnya sakit biasa, lama-lama berubah menjadi cukup sakit, hingga sampai ke taraf sakit sekali. Entah berapa banyak obat penguat janin, vitamin dan obat pereda nyeri yang diberikan dokter kepadaku. Intinya, di awal kehamilan hingga mendekati proses persalinan, aku benar-benar mempercayai apa kata dokter!

Tapi memang, keterangan yang diberikan dokter cukup membuatku faham proses-proses kehamilan. Namun sugesti-sugesti dari beberapa dokter yang pernah kutemui, membuahkan pemikiran lain dalam jiwaku. Bentrokan keyakinanpun terjadi. Dokter mengatakan bahwa berat badan, tinggi badan, serta kondisi panggulku tidak memungkinkan untuk persalinan normal. Sekalipun kondisi janin kala itu, sangat baik. Tidak ada masalah selain resiko karena saat kandunganku berumur 8 bulan, aku terkena virus cacar air yang kuderita selama kurang lebih 3 minggu.

Mereka mengatakan, sekalipun mungkin bisa menempuh jalan normal, aku tetap harus melahirkan di Rumah sakit yang memiliki peralatan medis lengkap. Untuk meminimalisir kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Siapa yang nggak ciut mendengar berita seperti itu! Padahal dari awal kehamilan, do'a yang tak jemu kudzikirkan adalah: Semoga normal, sehat, selamat...

IBU! Bukan sesuatu yang berlebihan kiranya kalau aku menyebut Ibuku adalah segalanya. Pahlawanku, motivatorku dan sumber kekuatanku. Ibu yang mengubah sudut pandangku. Mengembalikan pandangan dan keyakinanku untuk hanya percaya pada-Nya. Pemilik segala, pengatur segala! Kata-kata yang pasti menancap di otakku adalah: "Biarpun dokter berkata apa, kalau Allah berkata lain, maka jadilah. Serahkan saja pada Allah, ikhtiar dan berdo'a. Maksud dokter memang baik, berusaha meminimalkan resiko. Boleh saja percaya pada dokter, tapi jangan melebihi  percaya kepada Allah! Perbanyak shalat, dzikir. Insya Allah! Yang tidak mungkin akan menjadi mungkin."

Dan kata-kata itu sangat mujarab! Seperti suntikan vitamin yang langsung diserap oleh sel-sel tubuhku. Membawa kekuatan. Biar kugambarkan keadaanku kala itu.

Tanggal 18 Mei 2012, jam 1 entah lewat berapa. Aku mulai merasakan ketidaknyamanan pada perutku. Beberapa kali sempat bolak-balik kamar mandi. Sejak itu rasanya... seperti apa ya? Mules begitulah. Tapi aku tidak tau pertanda apa. Sebab, sejak kandunganku menginjak 8 bulan, aku sudah sering merasakan mulas dan sakit di perutku. Bidan dan dokter bilang kalau itu pertanda bayiku tengah mencari jalan lahir. Dan sakit itu terus berlanjut. Fikirku kala itu, sepertinya sakit karena kelelahan karena sehari kemarin keliling kota Balikpapan dan menyambangi 3 Mall besar di Balikpapan. Untuk jalan-jalan saja sembari melihat pernak pernik bayi.

Tanggal 18 Mei 2012, hampir jam 2 sepertinya. Suamiku masih tertidur disisiku. Sementara aku masih bolak balik kamar mandi dan berkali-kali memperbarui wudhu. Sakit yang kurasa tak kunjung reda. Malah bertambah saja. Tak tahan, segera kubangunkan suamiku. Lalu suamiku membangunkan ibuku. Dan ibuku memutuskan untuk membawaku ke bidan terdekat. Tidak ada mobil kala itu, sebab Bapakku sedang ada urusan ke Samarinda. Kakak ipar yang tinggal serumah dengan ibuku dan sering membawa pulang mobil kantorpun tak ada kala itu. Menginap di rumah kerabat beserta istri dan anaknya. Tidak ada angkot yang berkeliaran di pagi buta, sebab batas kerja supir angkot hanya sampai jam 21.00 WITA saja. Mau panggil taxi, kelamaan. Akhirnya, motor Xeon lah satu-satunya harapan.

Tanggal 18 Mei 2012, jam 2.30-an. Ibu mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin aku butuhkan sembari menunggu aku mempersiapkan diri dan bereaksi. Ketika aku berdiri, dan semua telah siap, hujan turun satu-satu. Berkah yang Allah turunkan setelah lebih dari 3 minggu tak ada setetespun hujan yang membasahi tanah Balikpapanku. Petir dan guntur beradu menambah pilu. Ragaku ngilu. Rasanya tak kuat lagi berdiri. Ibukupun menawarkan opsi, apakah diangsur (diantar bergantian), atau gonceng tiga. Aku memilih opsi kedua. Aku tak mau beresiko jatuh karena tak kuat berpegangan. Dan setelah suamiku setuju, kamipun berangkat. Di perjalanan, langit seakan menyertai kami dengan berkah. Hujan, guntur, serta kilatan cahaya, subhanallah!!

Tanggal 18 Mei 2012, jam 3 kurang. Lama kami mengetuk pintu, Bu Bidan tak kunjung membukakan. Agak menyesal mengganggunya dini hari. Dengan suasana yang menggoda jiwa untuk membenamkan diri di balik selimut. Namun, akhirnya pintu terbuka. Aku diperiksa. Mungkin sudah saatnya. Ketika tengah diperiksa, listrik padam. Mesin Generator listrik tak bisa dihidupkan. Meski begitu, senter masih bisa menjadi saksi persalinan sudah semakin dekat. Pembukaan empat! Aku tak faham maknanya. Yang pasti setelah itu, aku tak bisa mengontrol diri selain berdzikir dan menggenggam tangan ibuku. Ya, sejak awal kehamilan, aku memang meminta kepada Allah agar ibuku dapat mendampingi persalinan pertamaku. Dan memang terjadi demikian.

Tanggal 18 Mei 2012, jam setengah 3-an. Sakitnya semakin parah. Ibu menawariku campuran air jahe, susu, madu dan telur ayam kampung. Aku tak menolak. Suamiku tampak sangat khawatir. Sama seperti ibuku. Terlebih lagi aku sendiri. Setelah menelepon mertuaku bahwa waktunya semakin dekat, meminta doa mereka, salah satu anggota keluarga menyarankan agar aku meminum air rendaman rumput fatimah. Suamikupun segera kembali ke rumah orangtuaku untuk mengambil air itu. Akupun meminumnya. Jangan ditanya apa yang terjadi saat itu. Akupun tak tau lagi kondisiku. Padam listrik, baju yang semrawut dan agak basah, tubuh yang tak bisa kukendalikan. Ahh!! Sakitlah pokoknya. Tak bisa kubahasakan.

Tanggal 18 Mei 2012, jam setengah 5-an. Ketuban pecah, aku diminta bidan untuk mengejan saja. Dengan posisi semauku. Menurutnya, bayiku masih lumayan jauh dari pintu. Allaaahu akbar. Ibuku membantu mendorong bayiku dengan tangannya yang diletakkan diperutku bagian atas sembari aku terus mengejan. Yang ada difikiranku adalah gambaran ketika ibuku melahirkanku. Dalam posisi sungsang kepala di atas, lahir dengan normal. Aku harus bisa kuat seperti ibuku! Apapun yang terjadi. Begitulah sugesti yang terus kuulang untuk menyemangati tubuhku. Dzikir menggema di ruang bersalin. Suamiku terus membisikkan kalimat thayyibah di telingaku. Aku tau, ia gugup. Tidak tega melihatku dan juga khawatir. Pasti!

Tanggal 18 Mei 2012, jam 5an. Suara adzan shubuh menggema. Aku terus mengejan. Dengan beragam posisi. Dengan mengharap kekuatan-Nya saja. Suamiku pamit, hendak shalat di masjid. Aku mengizinkannya. Tidak ada alasan bagi laki-laki untuk tidak menunaikan shalat jama'ahnya di Masjid. Sebab hukumnya wajib. Toh masih ada ibuku yang mendampingiku. Aku tau, di Masjid sana, ia akan lebih khusyu' melantunkan do'a untuk keselamatanku dan bayi kami. Hanya Bu Bidan yang melongo. Mungkin fikirnya, ini laki-laki nggak sopan amat yak! Istri melahirkan bukannya didampingin malah ditinggal shalat. Nah lho! Lebih wajib sholat lho... heheh. (Intermezzo).

Tanggal 18 Mei 2012, jam 05.20. Akhirnya lahir juga bayi kecilku. Dengan meninggalkan jejak 4 jahitan di jalan lahirnya. Aku sangat bersyukur dan bengong tak percaya. Allah menyelamatkan kami. Dan yang paling membuatku bahagia, tangisnya pecah begitu suamiku membuka pintu ruang bersalin usai shalatnya. Allaaahu Akbar!! Kasih-Mu begitu indah ya Allah!! Dan lagi-lagi, hujan menderas menyambut kelahiran putri pertamaku.

Menjelang hari persalinan

Beberapa menit setelah lahir, digendong abinya

lihat... seberapa panjang kepalanya....

Ini Aqilah yang sekarang...

Subhanallah!! Sungguh besar pengorbanan seorang ibu. Semoga kita semua dapat menjadi ibu yang baik dan dapat menjadi anak yang baik bagi orang tua kita. Amiinn!! Luv u full Mom! U're my everything.





6 komentar:

  1. Wah, ternyata emang panjang semua ya kepala bayi yang baru lahir. Aku bahkan berfikir pas ngelihat rinai keluar dari rahim ibunya "ni anak kok kayak alien ya?". Hahaha.

    BalasHapus
  2. Huuuuu, dasar!! Emang gitu kalee.... ketahuan nih kagak pernah ngeliat bayi baru lahir... :P Tapi emang seberapa panjangnya kepala bayi itu bisa menggambarkan seberapa besar perjuangan ibunya...

    BalasHapus
  3. Subhanallah, kisah yang luar biasa...
    semoga kelak aqilah menjadi nak yang shalihah, berbakti kepada orang tuanya, dan bermanfaat bagi Islam...

    salam untuk abu Aqilah

    muslim STIS 08

    BalasHapus
  4. Aamiin... sudah disampaikan salamnya... syukron :D

    BalasHapus
  5. Yang ana khawatirkan, setelah kejadian ini Aqilah tidak bisa menjadi kakak karena ibunya takut kejadian pada persalinannya terulang. Hehehhe... Tapi, semoga saja tidak! "Cukup dua anak; laki-laki dan perempuan," Kata salah seorang ustdz...

    BalasHapus
  6. Insya allah tidak. Kan ada slogannya... Dua anak lebih, baik! hehehe

    BalasHapus

Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D