“Hei… Udah makan?” tanyamu di siang yang terik ini.
Aku menjawabnya dengan senyum. Aku suka setiap kali kau
tanyakan hal ini kepadaku. Dan ini juga yang selalu membuatku menunggu waktu
makan tiba.
“Pasti belum! Kenapa harus nunggu aku, sih? ‘Kan bisa makan
duluan…”
Aku kembali tersenyum, “Nggak enak makan sendirian…”
Kau lantas dengan sigapnya melangkah ke dapur lalu mencipta
selaksa bunyi dari perabot yang kau sentuh di sana. Kau pasti sedang
mempersiapkan makan siang untukku. Dan, aku suka.
“Mau disuapin?” kerling matamu membuat desiran darahku
menguat. Oh Tuhan! Ingin rasanya kuhentikan waktu.
Seperti sebelum-sebelumnya, aku dan kamu menghabiskan banyak
waktu bersama. Aku tak ingin pisah, sungguh! Sekalipun aku harus menempuh
banyak cara, mencari berbagai alasan, bahkan mengorbankan banyak hal hanya
untuk menikmati detik-detik kebersamaan denganmu. Tak sedikitpun aku merasa
jenuh. Padahal kita telah bersama sejak lima tahunan lalu. Tapi rasa itu
semakin menguat saja. Seperti candu. Aku bahkan berkali-kali sakau karena tidak
bisa melihat senyummu, candamu dan menghirup wangimu.
“Ren, besok aku mau ke Jogja ya… Kamu mau ikut? Ada cuti
nggak?” katamu.
Tentu saja batinku bersorak riang. Kemanapun kamu pergi, sekalipun
mengorbankan banyak hal, aku rela. Daripada harus terkurung dalam kesendirian
dan tidak dapat melihatmu 24 jam penuh.
“Ikut deh… Ntar si Bos gampang dikibulin. Kita bukannya udah
lama ya nggak traveling.”
“Iya… makanya aku ajak kamu. Biar rame! Daripada aku suntuk
ntar…”
Yeayyy… Rasanya aku mendadak punya sayap untuk terbang ke
langit ke tujuh. Melewati taman bunga dengan wangi yang semerbak. Lantas
berteriak pada kawanan burung bahwa aku sedang jatuh cinta. Kesekian kalinya
pada orang yang sama.
***
“Ren, kita nggak sekamar nggak apa ya… Aku lupa kasih tau
kamu kalau Bagas ikut. Tadi begitu tau aku mau ke Jogja dia langsung ngambil
cuti dan nyusul ke sini. Nggak mungkin dong kita tidur bertiga satu kamar.”
Kata-katamu benar-benar membuatku seakan terhempas ke jurang
yang teramat dalam hingga tak bisa lagi kutatap dunia. Aku sangat tidak suka
kau menyebut-nyebut nama itu. Sebab dengan mendengar namanya saja, rasanya aku
seperti tersengat halilintar. Mengembalikan imajiku ke alam nyata di mana aku, dan
kau berada. Aku memang tidak akan pernah memilikimu. Sekalipun dapat kupastikan
bahwa cinta yang kupunya melebihi cinta yang Bagas punya untukmu. Lihat saja,
aku yang selalu ada untukmu. Saat kau sakit, saat kau kesepian. Bagas? Dia saja
libur kerja hanya seminggu dalam tiga bulan. Apakah itu cinta?
“Makanya Reni, cepet nikah dong! Biar bisa jalan ber-empat.
Aku kan nggak musti khawatir biarin kamu tidur sendirian.”
Lagi, dan lagi! Tak bisakah kau mengerti? Untuk apa selama
ini aku berkorban? Aku tidak tertarik pada siapapun kecuali kau. Bahkan aku
rela berpindah kota, dengan alasan pekerjaan untuk bisa melihatmu lagi setelah
kau dipersuntingnya. Aku lantas memanfaatkan kondisi kesendirianmu untuk bisa
ikut tinggal di rumahmu. Dan aku juga harus menahan rasa sakit yang seperti
mencekikku tiap kali Bagas libur kerja dan menghabiskan banyak waktu dengan
romantika bersamamu. Aku tau ini tak mungkin, aku tau kau akan tetap menjauh!
Sekalipun begitu, aku tak menyesali pengorbananku. Sekalipun aku tidak mungkin
menyatu denganmu, aku tetap cinta.
-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 27 Maret 2013 (1) oleh NulisBuku.com-
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D