http://radarindo.blogspot.com/2013/03/cerpen-di-batas-nafas-dyah-n-rizky.html
DI BATAS NAFAS
Oleh: Dyah N. Rizky
“Kita harus pergi dari
sini jika tidak ingin anak dan istri kita kehilangan kita untuk selamanya.”
“Tapi siapa yang
menjaga mereka selama kita mengasingkan diri?”
“Tenang saja,
tentara-tentara itu tidak akan mengganggu mereka. Yang mereka cari hanyalah
kaum pemuda dan laki-laki dewasa saja. “
“Tapi istriku tengah
mengandung anakku. Mungkin akan lebih baik jika aku menemaninya disini!”
Aku mengabahkan pandang
ke langit hitam. Tak ada satupun bintang. Mungkin mereka turut paham bahwa kami
tengah kalang.
“Kau pilihlah! Jika
tetap bertahan, maka bisa saja tentara-tentara penjajah itu menangkapmu dan
mengirimmu ke pulau yang tak berpenghuni. Atau bisa saja mereka meracunimu
hingga kau tak lagi bernyawa. Atau bahkan istrimu juga menjadi korbannya. Tapi
jika kau ikut bersamaku, kemungkinan besar kita akan selamat. Sebab kita akan
kembali jika tanah ini telah aman. Dan kita bisa kembali berkumpul dengan
keluarga kita,” Parmin berkali mengguncangkan bahuku. Hanya dia satu-satunya temanku
yang tersisa. Sementara yang lain entah dimana rimbanya.
“Aku ingin tetap
disini. Menjaga sumpahku saat menikahi istriku!”
“Lalu bagaimana dengan
tanah airmu? Kau lahir dan dibesarkan di Bumi pertiwi ini. Lalu saat tanah
lahirmu sedang membutuhkan keringatmu, kau malah lebih mementingkan istrimu.
Tak malukah kau?!” sebuah suara nan serak mengagetkanku dan Parmin. Sejenak
kami terdiam. Beberapa kali saling pandang dan kemudian sama membuangnya ke
semak-semak diantara pepohonan rindang tempat kami berpijak dan berjaga, siaga.
Lelaki tua itu menghisap cerutunya. Aku dan Parmin tau pasti bahwa lelaki tua
itu adalah Mbah Tarjo. Beliau adalah salah satu pejuang yang masih bertahan
hidup saat banyak teman seangkatannya terlebih dahulu gugur menyumbangkan tetes
darah untuk negeri.
Doooorrrrr…
Dooooorrrrrr… Dooorrrrr…
Beberapa kali letusan
dari arah yang sepertinya tidak jauh dari kami, memaksa kami untuk segera
bersembunyi. Tak ada senjata laras pendek apalagi panjang yang kami gunakan
untuk melindungi diri. Hanya sebuah ketapel dan sekantung batu yang setia
menemani hari-hari kami yang kelam.
“Baiklah. Aku ikut!
Tapi aku harus pamit dengan istri dan keluargaku. Setidaknya mereka bisa
merelakan, seandainya aku benar-benar tidak kembali,” aku menghela nafas panjang.
Kurasakan mataku berdenyut dan panas. Tidak! Aku tidak boleh menangis, gumamku
dalam hati.
Parmin mengangguk. Bara
dimatanya bak obor semangat yang turut membakarku. Sementara Mbah Tarjo sudah
menghilang saja. Seperti biasanya, beliau sudah sangat terlatih untuk bergerak
cepat.
***
Sepagi ini, aku dan
Parmin telah melesat di belantara nan rindang. Menyatu dengan hingar bingar
para penduduk hutan. Berbekal parang, beberapa bekal pangan dan tak lupa
ketapel, kami membelah cakrawala. Suasana masih terasa aman sejak kami
meninggalkan kampun ketika bulan belum pulang ke peraduan. Hingga kini mentari
menyapa kami di ufuk timur. Meski beberapa kali menjumpai binatang buas, tak
menyurutkan langkah kami untuk tetap masuk ke dalam hutan dan segera membuat
tempat untuk berlindung. Sebab, jika ternyata kami masih dengan kampong, akan
sulit bagi kami untuk beristirahat. Apalagi sampai menyalakan api. Padahal saat
ini Indonesia telah memasuki musim penghujan.
“Coba lihat sejenak,
apakah kita sudah pergi cukup jauh?” seruku sambil menunjuk sebuah pohon besar
nan tinggi. Setidaknya, mungkin saja pohon itu bisa membawa pandang hingga ke
kampong kami. Parmin segera memanjat pohon tersebut. Untuk urusan panjat
memanjat, memang dia ahlinya.
“Aku rasa cukup! Kita
bisa beristirahat sejenak!” wajah Parmin mendadak sumringah begitu kakinya
kembali menjejak di tanah. Ia bergegas mengambil botol minuman dari dalam tas
kain miliknya. Mungkin tas itu adalah satu-satunya harta peninggalan mendiang
ibunya. Sebab, sejak ia lahir, ia tidak dapat mengenali ayahnya yang sudah tak
berkabar.
Akupun mengikutinya,
membuka bungkusan bekal yang dipersiapkan oleh istriku. Ada air, garam, gula,
beras dan beberapa potong kue yang sengaja dibuatkannya untukku. Ku julurkan
sepotong kue ke arah Parmin yang tengah lahap menyantap jambu yang didapatnya
di perjalanan tadi.
“Perjalanan kita masih
panjang. Kue itu masih bisa bertahan untuk beberapa waktu lagi. Sebaiknya
makanlah dulu hasil alam yang kita temui di jalan.”
Kata-kata Parmin
memaksa tanganku untuk kembali membungkus bekalku dan mengikutinya menyantap
buah-buahan yang kami dapatkan di jalan. Parmin, aku banyak belajar darinya.
Doorrrrr… dooorrrr…
dooorrrr…
Suara tembakan yang
berkali-kali terlontar, kontan mengagetkan kami dan membuat kami segera kembali
bersiaga. Nyawa kami sedang berada di ujung tanduk.
Doorrr!!!
Kembali dan semakin
dekat. Suara itu membuat para penghuni hutan, lari tunggang langgang di hadapan
kami. Dan kami, masih bertahan pada posisi tiarap dengan keringat yang semakin
membanjir.
“Kau disini saja. Aku
coba mengalihkan perhatian mereka. Sepertinya mereka sedang berburu binatang.
Jadi, kemungkinan besar mereka tidak tau keberadaan kita. Kalau mereka sudah
terpaku pada jebakanku, kau bersiaplah lari. Jauh ke dalam hutan. Aku akan
segera menyusul!”
Belum sempat aku
meng-iya-kan, Parmin sudah merangkak ke semak yang lebih rimbun. Lalu
melejitkan sebuah batu dari ketapelnya. Para tentara penjajah itu segera
mendekat ke arah batu yang dilejitkan Parmin. Aku lantas bersiap menjauh. Sebisa
mungkin kulangkahkan kakiku dengan sangat berhati-hati agar langkahku tidak
mengundang perhatian mereka. Lalu, setelah langkahku telah cukup jauh
meninggalkan tempat semula, kutolehkan kepalaku dan mencari-cari sosok Parmin.
Dooorrrr!!! Dooorrrr!!!
“Merdeka!!!” sebuah
teriakan lantang dari suara yang kukenal itu membubung ke angkasa. Pergikah
kau Parmin?!
“Hei Indonesia!
Bertahan disana!!” mungkin seperti itulah kata-kata dari suara dengan aksen
bahasa yang sebenarnya tak kumengerti. Sementara aku menurut saja. Aku sudah
pasrah akan nasib yang akan menyambangiku.
Mereka lalu mengikat
kedua tanganku, mengambil bekalku dan memaksaku untuk ikut bersama mereka.
Ternyata di mobil itu, tak hanya aku sendiri. Ada beberapa orang lelaki dewasa
dan pemuda. Tapi tidak ada parmin disana. Gugurkah ia?!
“Kita akan dijadikan
Romusha,” gumam seseorang yang duduk tak jauh dariku.
“Begitu lebih baik,
daripada harus terbunuh dan mati sia-sia. Semoga setelah jadi Romusha ada
sedikit celah untuk kembali ke kampung,” lelaki yang duduk tepat di sebelah
kananku ikut menimpali.
“Namamu siapa?
Darimana?” usai menimpali, lelaki itu mengarah padaku.
“Rahim. Dari dusun
Karang,” jawabku singkat.
“Aku Firman. Dari dusun
Tambak.”
“Kita tidak boleh
kalah! Tanah ini tanah kita! Bukan tanah mereka!” pekiknya. Aku mengangkat
alis. Perjuangan kembali dimulai.
***
Entah sudah berapa hari
aku dan para Romusha lainnya terombang-ambing di laut luas. Kapal yang
mengangkut kami tergolong besar. Sebab, tubuhku dan sendi-sendiku hampir patah
rasanya setiap pagi harus membersihkan
seluruh lantainya. Begitupun dengan yang lainnya. Bekerja tiada henti,
makan 1 kali sehari, tidurpun mencuri-curi waktu. Aku sampai lupa kapan
terakhir kali aku tertidur lelap. Rasanya sudah lama sekali.
“Kita hampir sampaii!!
Kita hampir sampai!!” seru seorang pemuda dengan riangnya.
“Sampai dimana?”
tanyaku.
“Dari pembicaraan
mereka yang aku dengar, mereka akan membawa kita ke pulau Kalimantan. Dan
mereka akan menjadikan kita tenaga kesehatan untuk menolong para tentara yang
terluka.”
“Tentara
mereka?!”
Pemuda itu mengangguk.
Wajahnya berubah pias. Kamipun hanyut dalam diam. Sibuk dengan pikiran
masing-masing.
Teng…teng…teng
“Waktunya
makan…” desisku. Perutku sudah sejak semalam tadi minta diisi.
Berlarian kami menuju
ke dapur, tempat mengambil makanan yang telah dijatah. Aku mendengus. Makanan
kali ini tidak cukup indah dibanding kemarin. Sepotong singkong rebus dan
seekor ikan yang direbus tanpa bumbu. Tak apalah, diberi hidup saja aku sudah
sangat bersyukur. Apalagi sampai bisa makan.
Belum habis singkong
yang kugenggam, dataran nan hijau telah nampak dari kejauhan.
“Inikah Kalimantan?!”
gumamku lirih.
Beberapa awak kapal
telah bersiaga. Begitupun para tentara yang terus berjaga dengan moncong
senjatanya. Nampaknya mereka takut sekali jika sewaktu-waktu kami melawan.
Padahal sudah cukup jelas, kami tidak memiliki sebilahpun senjata.
Menit-menit berikutnya
berlalu dengan gamang. Tidak ada nasib yang bisa kami reka setelah ini. Jika
melarikan diri, mau lari kemana? Sementara yang aku tau, satu-satunya jalan
untuk kembali ke ranah Jawa hanya laut. Lalu, harus menyerahkah?!
Seorang tentara
membagikan kotak perlengkapan keselamatan dan tanda pengenal berupa selembar
kain putih yang diikat di lengan kanan kami masing-masing. Ada setitik bangga
terselip di dadaku, sebab misi kemanusiaan yang tengah kuusung. Semoga saja ada
rekan sesama anak bangsa yang bisa kutolong.
Perlahan tapi pasti,
kujejakkan kakiku di tanah Kalimantan. Sebuah pulau yang di peta terlihat
seperti ayam –pun kaya akan alam. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Yang
bertugas untuk masuk ke dalam hutan dan mencari korban untuk diselamatkan.
“Stttssss… Indonesia!”
seru seseorang di antara rerumputan. Aku dan kawananku menoleh mencari asal
suara.
“Kau
Rahim, bukan?!” Aku mengerutkan kening. Ada yang mengenaliku?
“Aku Salim, dusun
Karang!” serunya. Mataku berbinar dan segera memeluknya.
“Kapan kau sampai?”
tanyaku.
“Aku sudah lebih dua
minggu disini. Kau?”
“Aku
baru saja sampai.”
“Istrimu sudah
melahirkan. Kau sudah tau?”
Setitik air jatuh
begitu saja dari pelupuk mataku. Tak bisa kubendung lagi.
“Laki-laki! Gagah
sepertimu.”
Kembali, aku tak bisa
berkata-kata.
“Tapi sebelum aku
dibawa kemari, istrimu dinikahkan dengan anak kepala dusun, si Tarman. Sebab
mereka mengira kau telah mati.”
Doorr!!
Tepat! Sebuah peluru
menembus lengan kiriku. Wangi darah menguar basah. Perih dan nyeri yang kurasa
tidak se-perih berita yang baru saja kudengar. Pandanganku mengabur, perlahan
semuanya berubah menjadi gelap. Sampai disinikah jejakku berjuang di tanah
negeri?!
***
“Merdekaaa!!!!
Merdekaa!”
Suara-suara bising
memekakkan telingaku.
“Rahim, kau telah
sadar?” ku dengar sayup suara Salim.
Aku menggeliat. Namun
perih masih menyucuk lengan kiriku.
“Indonesia telah
merdeka kawan! Penjajah itu akan segera angkat kaki dari Bumi pertiwi.”
Aku tersenyum. Rasanya
darahku terbayar sudah.
“Kau ikut kembali ke tanah
Jawa atau tetap disini?”
Dengan tegas aku
menggeleng dan menjawab, “Aku akan tetap disini. Sampaikan saja salamku pada
anakku dan Ibunya. Suatu saat nanti aku pasti pulang untuk menjenguknya dan juga
menjenguk keluargaku yang tersisa.”
“Baiklah! Bangun
Kalimantan dengan tanganmu kawan! Buat kami bangga.”
“Merdeka!!” pekikku
lirih.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D