19 Maret 2013

Radar, 16 Maret 2013

http://radarindo.blogspot.com/2013/03/cerpen-di-batas-nafas-dyah-n-rizky.html


DI BATAS NAFAS
Oleh: Dyah N. Rizky

“Kita harus pergi dari sini jika tidak ingin anak dan istri kita kehilangan kita untuk selamanya.”
“Tapi siapa yang menjaga mereka selama kita mengasingkan diri?”
“Tenang saja, tentara-tentara itu tidak akan mengganggu mereka. Yang mereka cari hanyalah kaum pemuda dan laki-laki dewasa saja. “
“Tapi istriku tengah mengandung anakku. Mungkin akan lebih baik jika aku menemaninya disini!”
Aku mengabahkan pandang ke langit hitam. Tak ada satupun bintang. Mungkin mereka turut paham bahwa kami tengah kalang.
“Kau pilihlah! Jika tetap bertahan, maka bisa saja tentara-tentara penjajah itu menangkapmu dan mengirimmu ke pulau yang tak berpenghuni. Atau bisa saja mereka meracunimu hingga kau tak lagi bernyawa. Atau bahkan istrimu juga menjadi korbannya. Tapi jika kau ikut bersamaku, kemungkinan besar kita akan selamat. Sebab kita akan kembali jika tanah ini telah aman. Dan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita,” Parmin berkali mengguncangkan bahuku. Hanya dia satu-satunya temanku yang tersisa. Sementara yang lain entah dimana rimbanya.
“Aku ingin tetap disini. Menjaga sumpahku saat menikahi istriku!”
“Lalu bagaimana dengan tanah airmu? Kau lahir dan dibesarkan di Bumi pertiwi ini. Lalu saat tanah lahirmu sedang membutuhkan keringatmu, kau malah lebih mementingkan istrimu. Tak malukah kau?!” sebuah suara nan serak mengagetkanku dan Parmin. Sejenak kami terdiam. Beberapa kali saling pandang dan kemudian sama membuangnya ke semak-semak diantara pepohonan rindang tempat kami berpijak dan berjaga, siaga. Lelaki tua itu menghisap cerutunya. Aku dan Parmin tau pasti bahwa lelaki tua itu adalah Mbah Tarjo. Beliau adalah salah satu pejuang yang masih bertahan hidup saat banyak teman seangkatannya terlebih dahulu gugur menyumbangkan tetes darah untuk negeri.
Doooorrrrr… Dooooorrrrrr… Dooorrrrr…
Beberapa kali letusan dari arah yang sepertinya tidak jauh dari kami, memaksa kami untuk segera bersembunyi. Tak ada senjata laras pendek apalagi panjang yang kami gunakan untuk melindungi diri. Hanya sebuah ketapel dan sekantung batu yang setia menemani hari-hari kami yang kelam.
“Baiklah. Aku ikut! Tapi aku harus pamit dengan istri dan keluargaku. Setidaknya mereka bisa merelakan, seandainya aku benar-benar tidak kembali,” aku menghela nafas panjang. Kurasakan mataku berdenyut dan panas. Tidak! Aku tidak boleh menangis, gumamku dalam hati.
Parmin mengangguk. Bara dimatanya bak obor semangat yang turut membakarku. Sementara Mbah Tarjo sudah menghilang saja. Seperti biasanya, beliau sudah sangat terlatih untuk bergerak cepat.
***
Sepagi ini, aku dan Parmin telah melesat di belantara nan rindang. Menyatu dengan hingar bingar para penduduk hutan. Berbekal parang, beberapa bekal pangan dan tak lupa ketapel, kami membelah cakrawala. Suasana masih terasa aman sejak kami meninggalkan kampun ketika bulan belum pulang ke peraduan. Hingga kini mentari menyapa kami di ufuk timur. Meski beberapa kali menjumpai binatang buas, tak menyurutkan langkah kami untuk tetap masuk ke dalam hutan dan segera membuat tempat untuk berlindung. Sebab, jika ternyata kami masih dengan kampong, akan sulit bagi kami untuk beristirahat. Apalagi sampai menyalakan api. Padahal saat ini Indonesia telah memasuki musim penghujan.
“Coba lihat sejenak, apakah kita sudah pergi cukup jauh?” seruku sambil menunjuk sebuah pohon besar nan tinggi. Setidaknya, mungkin saja pohon itu bisa membawa pandang hingga ke kampong kami. Parmin segera memanjat pohon tersebut. Untuk urusan panjat memanjat, memang dia ahlinya.
“Aku rasa cukup! Kita bisa beristirahat sejenak!” wajah Parmin mendadak sumringah begitu kakinya kembali menjejak di tanah. Ia bergegas mengambil botol minuman dari dalam tas kain miliknya. Mungkin tas itu adalah satu-satunya harta peninggalan mendiang ibunya. Sebab, sejak ia lahir, ia tidak dapat mengenali ayahnya yang sudah tak berkabar.
Akupun mengikutinya, membuka bungkusan bekal yang dipersiapkan oleh istriku. Ada air, garam, gula, beras dan beberapa potong kue yang sengaja dibuatkannya untukku. Ku julurkan sepotong kue ke arah Parmin yang tengah lahap menyantap jambu yang didapatnya di perjalanan tadi.
“Perjalanan kita masih panjang. Kue itu masih bisa bertahan untuk beberapa waktu lagi. Sebaiknya makanlah dulu hasil alam yang kita temui di jalan.”
Kata-kata Parmin memaksa tanganku untuk kembali membungkus bekalku dan mengikutinya menyantap buah-buahan yang kami dapatkan di jalan. Parmin, aku banyak belajar darinya.
Doorrrrr… dooorrrr… dooorrrr…
Suara tembakan yang berkali-kali terlontar, kontan mengagetkan kami dan membuat kami segera kembali bersiaga. Nyawa kami sedang berada di ujung tanduk.
Doorrr!!!
Kembali dan semakin dekat. Suara itu membuat para penghuni hutan, lari tunggang langgang di hadapan kami. Dan kami, masih bertahan pada posisi tiarap dengan keringat yang semakin membanjir.
“Kau disini saja. Aku coba mengalihkan perhatian mereka. Sepertinya mereka sedang berburu binatang. Jadi, kemungkinan besar mereka tidak tau keberadaan kita. Kalau mereka sudah terpaku pada jebakanku, kau bersiaplah lari. Jauh ke dalam hutan. Aku akan segera menyusul!”
Belum sempat aku meng-iya-kan, Parmin sudah merangkak ke semak yang lebih rimbun. Lalu melejitkan sebuah batu dari ketapelnya. Para tentara penjajah itu segera mendekat ke arah batu yang dilejitkan Parmin. Aku lantas bersiap menjauh. Sebisa mungkin kulangkahkan kakiku dengan sangat berhati-hati agar langkahku tidak mengundang perhatian mereka. Lalu, setelah langkahku telah cukup jauh meninggalkan tempat semula, kutolehkan kepalaku dan mencari-cari sosok Parmin.
Dooorrrr!!! Dooorrrr!!!
“Merdeka!!!” sebuah teriakan lantang dari suara yang kukenal itu membubung ke angkasa. Pergikah kau Parmin?!
“Hei Indonesia! Bertahan disana!!” mungkin seperti itulah kata-kata dari suara dengan aksen bahasa yang sebenarnya tak kumengerti. Sementara aku menurut saja. Aku sudah pasrah akan nasib yang akan menyambangiku.
Mereka lalu mengikat kedua tanganku, mengambil bekalku dan memaksaku untuk ikut bersama mereka. Ternyata di mobil itu, tak hanya aku sendiri. Ada beberapa orang lelaki dewasa dan pemuda. Tapi tidak ada parmin disana. Gugurkah ia?!
“Kita akan dijadikan Romusha,” gumam seseorang yang duduk tak jauh dariku.
“Begitu lebih baik, daripada harus terbunuh dan mati sia-sia. Semoga setelah jadi Romusha ada sedikit celah untuk kembali ke kampung,” lelaki yang duduk tepat di sebelah kananku ikut menimpali.
“Namamu siapa? Darimana?” usai menimpali, lelaki itu mengarah padaku.
“Rahim. Dari dusun Karang,” jawabku singkat.
“Aku Firman. Dari dusun Tambak.”
“Kita tidak boleh kalah! Tanah ini tanah kita! Bukan tanah mereka!” pekiknya. Aku mengangkat alis. Perjuangan kembali dimulai.
***
Entah sudah berapa hari aku dan para Romusha lainnya terombang-ambing di laut luas. Kapal yang mengangkut kami tergolong besar. Sebab, tubuhku dan sendi-sendiku hampir patah rasanya setiap pagi harus membersihkan  seluruh lantainya. Begitupun dengan yang lainnya. Bekerja tiada henti, makan 1 kali sehari, tidurpun mencuri-curi waktu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku tertidur lelap. Rasanya sudah lama sekali.
“Kita hampir sampaii!! Kita hampir sampai!!” seru seorang pemuda dengan riangnya.
“Sampai dimana?” tanyaku.
“Dari pembicaraan mereka yang aku dengar, mereka akan membawa kita ke pulau Kalimantan. Dan mereka akan menjadikan kita tenaga kesehatan untuk menolong para tentara yang terluka.”
“Tentara mereka?!”
Pemuda itu mengangguk. Wajahnya berubah pias. Kamipun hanyut dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Teng…teng…teng
“Waktunya makan…” desisku. Perutku sudah sejak semalam tadi minta diisi.
Berlarian kami menuju ke dapur, tempat mengambil makanan yang telah dijatah. Aku mendengus. Makanan kali ini tidak cukup indah dibanding kemarin. Sepotong singkong rebus dan seekor ikan yang direbus tanpa bumbu. Tak apalah, diberi hidup saja aku sudah sangat bersyukur. Apalagi sampai bisa makan.
Belum habis singkong yang kugenggam, dataran nan hijau telah nampak dari kejauhan.
“Inikah Kalimantan?!” gumamku lirih.
Beberapa awak kapal telah bersiaga. Begitupun para tentara yang terus berjaga dengan moncong senjatanya. Nampaknya mereka takut sekali jika sewaktu-waktu kami melawan. Padahal sudah cukup jelas, kami tidak memiliki sebilahpun senjata.
Menit-menit berikutnya berlalu dengan gamang. Tidak ada nasib yang bisa kami reka setelah ini. Jika melarikan diri, mau lari kemana? Sementara yang aku tau, satu-satunya jalan untuk kembali ke ranah Jawa hanya laut. Lalu, harus menyerahkah?!
Seorang tentara membagikan kotak perlengkapan keselamatan dan tanda pengenal berupa selembar kain putih yang diikat di lengan kanan kami masing-masing. Ada setitik bangga terselip di dadaku, sebab misi kemanusiaan yang tengah kuusung. Semoga saja ada rekan sesama anak bangsa yang bisa kutolong.
Perlahan tapi pasti, kujejakkan kakiku di tanah Kalimantan. Sebuah pulau yang di peta terlihat seperti ayam –pun kaya akan alam. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Yang bertugas untuk masuk ke dalam hutan dan mencari korban untuk diselamatkan.
“Stttssss… Indonesia!” seru seseorang di antara rerumputan. Aku dan kawananku menoleh mencari asal suara.
“Kau Rahim, bukan?!” Aku mengerutkan kening. Ada yang mengenaliku?
“Aku Salim, dusun Karang!” serunya. Mataku berbinar dan segera memeluknya.
“Kapan kau sampai?” tanyaku.
“Aku sudah lebih dua minggu disini. Kau?”
“Aku baru saja sampai.”
“Istrimu sudah melahirkan. Kau sudah tau?”
Setitik air jatuh begitu saja dari pelupuk mataku. Tak bisa kubendung lagi.
“Laki-laki! Gagah sepertimu.”
Kembali, aku tak bisa berkata-kata.
“Tapi sebelum aku dibawa kemari, istrimu dinikahkan dengan anak kepala dusun, si Tarman. Sebab mereka mengira kau telah mati.”
Doorr!!
Tepat! Sebuah peluru menembus lengan kiriku. Wangi darah menguar basah. Perih dan nyeri yang kurasa tidak se-perih berita yang baru saja kudengar. Pandanganku mengabur, perlahan semuanya berubah menjadi gelap. Sampai disinikah jejakku berjuang di tanah negeri?!
***
“Merdekaaa!!!! Merdekaa!”
Suara-suara bising memekakkan telingaku.
“Rahim, kau telah sadar?” ku dengar sayup suara Salim.
Aku menggeliat. Namun perih masih menyucuk lengan kiriku.
“Indonesia telah merdeka kawan! Penjajah itu akan segera angkat kaki dari Bumi pertiwi.”
Aku tersenyum. Rasanya darahku terbayar sudah.
“Kau ikut kembali ke tanah Jawa atau tetap disini?”
Dengan tegas aku menggeleng dan menjawab, “Aku akan tetap disini. Sampaikan saja salamku pada anakku dan Ibunya. Suatu saat nanti aku pasti pulang untuk menjenguknya dan juga menjenguk keluargaku yang tersisa.”
“Baiklah! Bangun Kalimantan dengan tanganmu kawan! Buat kami bangga.”
“Merdeka!!” pekikku lirih.
                        ***

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D