“Harus seperti ini?”
Aku mengangguk. Lagi dan lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya. Dan selalu dengan orang yang sama.
“Tolong aku… Aku nggak bisa melakukannya sendiri.”
Nadia tersenyum. Dari helaan nafas yang dihembuskannya kasar, aku tau pasti sebenarnya ia sangat terpaksa.
“Untuk entah yang keberapa kalinya, aku akan tegasin. Ini demi kamu! Bukan demi siapapun. Sekalipun apa yang aku dapatkan nanti nggak akan berguna untuk merubah kondisi hatimu, aku akan tetap usaha. Cukup untuk kamu tau.”
Aku tersenyum. “Terimakasih, Nad!”
Nadia tersenyum dan tanpa banyak kata langsung berlalu meninggalkanku. Momen seperti ini tidak akan terjadi lagi. Karenanya aku memintanya cepat.
Kita ketemu di tempat biasa! Kalau kamu nggak datang, kita END.
Tulisan di kotak pesan masuk Handphone Mas Adnan, terus berputar di memori otakku. Kenapa harus terjadi lagi, Mas? Beribu kali kudengungkan kalimat yang sama.
***
Rasanya menit demi menit yang berlalu begitu lamanya. Sementara kenangan-kenangan pahitku bersama Mas Adnan terus saja mengalir seperti air mataku. Begitu juga kenangan indah akan dalamnya rasa yang kutujukan untuknya. Aku tau sejak awal ia terpaksa menikahiku. Aku tau! Namun aku bertahan. Sebab aku benar-benar mencintainya. Dan aku yakin suatu hari nanti dia akan bisa mencintaiku. Sekalipun tak mungkin bisa melebihi rasaku padanya.
Aku bertahan… karena kuyakin cintaku kepadamu… Dering handphone yang bergetar di dalam genggamanku menyadarkanku keluar dari lamunan.
“Firasatmu benar, mereka ada di sini.”
Aku tersenyum getir, “Terimakasih, Nad.”
“Cinta itu adalah membiarkan orang yang kamu cintai, berbahagia bersama orang yang dicintainya. Bukan bertahan dengannya hanya dengan mengandalkan cinta searah darimu saja. Lepaskanlah!” Suara Nadia terdengar begitu tajam kali ini. Keras menohok jantungku.
“Aku membiarkannya terbang, Nad. Karena aku sangkarnya. Ia tetap akan pulang padaku.”
“Sekalipun ia singgah kemanapun yang ia mau?”
“Bahkan aku akan melakukan yang lebih dari itu. Lebih dari yang dia tau. Sebab, suatu hari nanti, aku hanya ingin ia mengenangu sebagai orang yang paling mencintainya. Lebih dari siapapun!” jawabku tegas.
Jangan bilang aku bodoh! Aku hanya seorang pecinta. Ya, sebab cinta yang kupunya, seperti tak ada habisnya. Meskipun luka, bara yang sewaktu –waktu bisa membakarku. Semoga Tuhan memberiku kekuatan untuk bertahan dan melakukan yang lebih dari ini untuk membuktikan kesungguhan rasaku.
“Tapi bukan hanya sekali, Nanda!”
“Seribu kalipun, selama ia masih pulang padaku, aku akan menghangatkannya dengan cintaku.”
“Semoga.” Nadia berkata lirih. Ia segera menutup sambungan telepon.
Bagaimana tidak, seorang lelaki yang tengah ia bicarakan denganku itu berada di sisinya. Ia tak mungkin berbicara lama. Aku tau, sebab aku melihatnya dari kejauhan. Mereka yang tidak tau.
7 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D