http://www.radarindo.com/2013/03/pahlawan-odong-odong.html
Pahlawan,
Odong-odong
Pagi
ini cerah. Mentari tak lagi bersembunyi di balik pekatnya awan seperti hari
kemarin. Kota Minyak, akhir-akhir ini seringkali dihujani berkah mata air
langit yang waktu jatuhnya tak bisa direka. Kadang-kadang saat mentari yang tampak
menyengat di atas ubun, serta merta terselimuti gelap yang mengganti hangatnya
mentari dengan dinginnya hujan. Dan itulah yang disyukuri Rani, gadis kecil
berusia 8 tahun, siswi kelas 2 pada salah satu sekolah ternama di Kota Minyak
ini. Sebab, ia tak lagi harus mengawali harinya dengan becek yang dapat mengotori
sepatu sekolahnya. Dan ia bisa pergi sekolah dengan santainya tanpa takut
terkena cipratan air yang menyembur dari pijakan ban-ban kendaraan yang melalui
jalan-jalan menuju sekolahnya. Terngiang di telinganya celoteh salah seorang
teman yang akhirnya sukses merusak mood-nya seharian kemarin. “Sudah
ujan, becek, nggak ada ojek, jalan kaki pula. Jadi kotor gitu. Mana keren!” ejek
temannya itu sambil mencibir ke arah Rani. Aksen bicaranya ke”bule-bule”an,
seperti salah satu artis yang identik dengan gaya bicara seperti itu. Ingin
rasanya ia membawakan sebuah televisi berukuran besar yang tengah menampilkan
iklan sebuah merk deterjen dengan slogan berani kotor itu baik, kehadapan teman
yang mengoloknya itu. Memangnya kenapa kalau kotor? Di iklan aja bilang,
berani kotor itu baik, batin Rani membela diri.
Rani
berlari-lari kecil sambil menggumamkan nyanyian dari sebuah band ternama negeri
ini, yang sering didengarnya dari televisi, radio, pemutar musik handphone
milik kakaknya, penjual vcd bajakan, angkot yang lalu lalang di jalan, hingga
pengamen yang genjrang-genjreng di warung-warung yang dilaluinya sepulang
sekolah. “Ibu-ibu, Bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku, aku yang tengah
malu pada teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku...” Nyanyian dari
bibir mungil itu mengiringi langkah-langkah kecilnya melewati gang-gang kecil
dan rumah-rumah penduduk yang berhimpit di sisi-sisi jalan menuju ke sekolahnya.
“Ran, kamu
nonton tipi nggak tadi malam?” seorang teman sekolahnya bernama Dara, yang
biasa bersamanya meniti jalan menuju sekolah, membuka pembicaraan.
Rani
menggeleng. Semalam ia langsung tidur karena mengambek saat sang kakak tidak
memperbolehkannya mengganti channel televisi. Kakaknya yang duduk di
kelas 2 SMA itu sedang asyik menonton sinetron yang sedang menayangkan adegan romantika
remaja dari sepasang artis yang wajahnya sering menghiasi layar kaca. Padahal
di channel televisi yang lain, saat itu tengah memutar sebuah film
kartun yang sangat ingin ditontonnya.
“Tadi malam aku
nonton, ada polisi goyang india lho. Lucu banget, nyanyi chaiyya-chaiyya
dia,” lanjut Dara dengan sangat bersemangat sambil sedikit menirukan gaya sang
polisi yang ditontonnya semalam.
“Masa’?” tanya
Rani memastikan.
“Iya, coba aja
nanti pulang sekolah kamu nonton,” wajah Dara sumringah. Sepertinya topik ini
akan menjadi pembicaraan seru untuk teman-temannya.
Betul saja,
bahkan saat kakinya baru berpijak di gerbang sekolah, suara-suara sumbang milik
teman-teman sekolahnya telah ramai mendendangkan lagu chaiyya-chaiyya seperti
yang mereka tonton di televisi. Bahkan ada yang lengkap menirukannya hingga ke
tarian-tarian khas india. Sontak saja wajah Dara langsung murung. Sebab ternyata
ia kalah start. Teman-temannya sudah beraksi terlebih dahulu.
Rani, gadis
kecil itu hanya bisa melengos menyaksikan tingkah teman-temannya yang heboh
menirukan aksi yang tidak bisa ditontonnya semalam. Jelas ia tidak bisa ikut
bergabung karena ia sama sekali tidak memiliki gambaran mengenai si chaiyya-chaiyya
tersebut. Beruntung bel masuk segera berbunyi, mengakhiri pertunjukan chaiyya-chaiyya
masal pagi itu.
“Selamat pagi
anak-anak…” Bu Laras, wali kelas 2 A membuka pelajaran.
“Pagi Buuuu…”
jawab anak-anak kompak. Sang ketua kelas langsung memberi aba-aba untuk membaca
do’a sebelum pelajaran dimulai. Semua siswa mengikutinya dengan khidmat.
Kegiatan seperti ini adalah rutinitas yang terus menerus mereka lakukan setiap
paginya. Mulai dari kelas 1 hingga kelas 6.
“Siapa yang
ingat, besok kita akan mengikuti kegiatan apa?” tanya Bu Laras dengan gaya
khasnya.
Salah seorang
murid perempuan yang duduk di bagian belakang menyahut, “Besok kita Karnaval
‘kan Buuu…?”
“Betul. Besok
kita akan mengikuti karnaval memperingati hari Kartini. Siapa yang tau, siapa
itu Ibu Kartini?”
“Ibu Kartini
itu penjahit di dekat rumah saya, Buuu…” seorang siswa laki-laki yang duduk di
ujung kanan bagian belakang kelas menyahut sekenanya. Mengundang tawa siswa dan
siswi lainnya. Bu Laras menggeleng dan meminta siswa lain untuk memberi jawaban
dari pertanyaan yang diajukannya.
Rani mengangkat
tangannya dan mencoba memberi jawaban, “Kartini itu pahlawan perempuan. Kakakku
pernah ikut karnaval hari kartini. Pakai kebaya dan didandani kayak pengantin.”
Bu Laras
tersenyum, “Betul, Ibu kita Kartini adalah seorang pahlawan perjuangan
perempuan di Indonesia. Besok, kita semua akan memperingati hari kelahirannya
dengan mengikuti karnaval yang akan di selenggarakan pihak sekolah. Semua siswa
dan siswi wajib mengenakan baju daerah.”
Sementara Bu
Laras sibuk menerangkan perihal Kartini kepada murid-muridnya, fikiran Rani
malah melayang memikirkan bahwasannya sang kakak, saat mengenakan baju adat itu
didandani layaknya pengantin. Matanya diwarnai, ditempelkan bulu mata, bibirnya
dipolesi lipstik merah tebal, rambut panjangnya disanggul dan mengenakan sepatu
tinggi. Ia menggelengkan kepalanya, tak sanggup membayangkan akan seperti apa
wujudnya.
“Berarti dulu
Ibu Kartini itu setiap hari berdandan seperti pengantin, ya Bu. Kalau kita
harus meneladani Ibu Kartini, berarti kita juga harus pakai kebaya dan
berdandan seperti pengantin dong?” kata Rani, polos.
Bu Laras
menggeleng. “Bukan seperti itu. Yang harus diteladani adalah perjuangan beliau
semasa hidupnya.”
“Berarti boleh
dong besok pakai baju adatnya nggak usah pakai didandani kayak pengantin?”
celetuk Rani yang segera disanggah oleh seorang temannya.
“Kenapa nggak
usah? Didandani itu cantik kok. Kayak artis-artis yang di televisi itu. Aku mau
didandani kayak Cinta Laura.”
“Cinta Laura
itu ‘kan sudah besar. Makanya boleh berdandan. Kita ini ‘kan masih kecil. Belum
boleh didandani kayak pengantin,” Rani mencoba membela diri.
“Memangnya
kenapa kalau masih kecil? Ibuku saja bolehin aku pacaran. Padahal aku masih
kecil,” sambung temannya yang satu lagi.
Bu Laras
mengurut kening. Anak-anak kecil ini semakin berganti masa, semakin mendewasa.
Orang tuapun tak kuasa membendung pengaruh zaman yang menyergapi anak-anak
mereka. Lebih mengenal lagu dewasa dibanding lagu-lagu anak seusianya. Lebih
memilih menonton tayangan dewasa ketimbang tayangan seusianya. Lebih memilih
pakaian dengan model yang biasa dikenakan orang dewasa dibandingkan yang
dipakai anak seusianya. Bahkan pergaulan orang dewasa pula yang dijadikan
panutannya. Kalau dicecoki dengan hal-hal yang seperti itu, lantas akan seperti
apa kehidupan anak-anak 5 sampai 10 tahun lagi? bisik batinnya cemas.
Mentari semakin
meninggi. Beberapa mata pelajaran yang terjadwal untuk hari ini, berakhir
sudah. Satu-persatu siswa dan siswi kembali pulang ke tempat tinggal mereka
masing-masing. Bu Laras mengantarkan siswa dan siswinya hingga ke gerbang
Sekolah. Tertangkap retina matanya, sebuah sarana bermain anak yang marak tersebar
di sudut-sudut Kota Minyak, tengah mangkal di pekarangan Sekolah. Jelas
terdengar olehnya suara anak-anak yang bernyanyi riang mengikuti lagu yang
tengah di putarkan oleh seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu menggenjot
sepasang pengayuh sepeda yang terpasang pada kerangka yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa untuk mengayun mobil-mobilan dan motor-motoran dibagian
depannya mengikuti irama lagu anak-anak tersebut. Orang-orang menyebut sarana
bermain itu dengan sebutan Odong-odong.
Kupu-kupu yang
lucu, kemana engkau terbang. Hilir mudik mencari bunga-bunga yang kembang.
Berayun-ayun. Sambil menari-nari. Tidakkah sayapmu, merasa lelah.
Setitik air
mata haru jatuh di pelupuk mata Bu Laras. Baginya, odong-odong tak hanya
sekedar sarana bermain anak dan mata pencaharian, tapi lebih dari itu.
Odong-odong adalah salah satu pahlawan penyelamat jiwa anak-anak yang telah
terenggut oleh zaman. Hati-hati kecil mereka, jiwa-jiwa kecil mereka, menjadi
utuh pada usianya. Tidak menjadi siapa-siapa dan tidak mengikuti siapa-siapa.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D