“Ma… Kenapa sih Papa…” kata-kataku berhenti karena terdengar
langkah kaki seperti hendak menghampiri.
Mama yang terduduk lesu di hadapanku, kini berdiri merapikan
bajunya yang sempat lusuh. Lantas merapikan rambutnya dengan sesekali melirik
pada kaca lemari yang berdiri di hadapan kami.
“Mama cantik!” seruku. Aku senang melihat bagaimana cara
Mama menyambut Papa. Ada binar-binar yang tak kumengerti namun dalam kurasakan
kesejukannya.
Mama tersenyum saja mendengarku bicara begitu. Mama juga
selalu begitu tiap kali aku memujinya. Ia tidak pernah meresponnya dengan laku
yang lain selain senyuman. Mungkin, jika sekali saja ia memberikan respon
berbeda, setiap kali aku memujinya, ia akan kebingungan mencari respon yang
berbeda.
Papa memasuki ruangan di mana kami berada. Langkah tegapnya
yang khas seperti inilah yang membuat bulu kudukku selalu berdiri saat di
dekatnya. Aku tidak nyaman. Sekalipun dia Papaku sendiri.
“Masuk kamar!!” bentak Papa, seperti biasa.
Aku lantas mengambil langkah seribu untuk menuju kamarku.
Tanpa menunggu bentakan selanjutnya. Aku sudah cukup tersedak dengan bentakan
pertama. Dan aku sudah cukup trauma.
“Kamu mau meracuni aku, hah! Ini kopi kenapa rasanya pahit
sekali?! Sudah berapa tahun kita menikah dan kamu belum juga paham aku tidak
suka pahit?! Istri macam apa kamu?”
“Maaf Pah, tadi Mama sudah kasih gula kok…”
“Halah! Sini kamu rasakan sendiri!!”
Aku penasaran, seringkali aku mendengar keributan semacam
ini namun tak berani melihat apa yang
terjadi. Biasanya keesokan harinya aku hanya menemui jejak kebiruan di sudut
bibir Mama, atau lebam di tangannya, atau jalannya yang pincang. Kali ini aku
harus melihatnya.
Kuberanikan diri membuka pintu kamarku. Yang kusaksikan
benar-benar seperti di film-film. Kopi panas itu telah mengguyur tubuh Mama
yang kini berteriak histeris meminta tolong. Aku menangis sejadi-jadinya.
Lantas berlari sekuat tenaga menggapai pintu utama dan keluar mencari
pertolongan. Tetangga yang tengah berkumpul di depan gang rumahku lantas segera
menuju ke rumahku. Mereka telah faham. Sekalipun tak kuceritakan.
Salah seorang dari mereka menelpon polisi. Beberapa dari
mereka membawa Mama ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Aku masih
menangis tersedu melihat Mama terus mengipasi tubuhnya yang belepotan kopi.
“Papa tidak sengaja, nak! Jangan benci Papa ya…”
sempat-sempatnya ia berkata begitu kepadaku. Wanita tercintaku ini, berhati
seperti bidadari.
***
“Ma… pelangi!” teriakku sambil menunjuk lukisan indah sang
MahaKuasa. Mama kembali bisa tersenyum. Senyum yang kurasa jauh berbeda ketika
kami masih bersama Papa.
Ya… biarlah aku hanya punya Mama. Biarkan Papa merenungi
perbuatannya selama ini. Badai dan hujan yang menggelapi langit pasti akan
bergulung hilang di sapu biru terang. Lantas muncul pelangi menjadi pertanda
keindahan dan kebahagiaan. Hidup ini
selayaknya indah. Sekalipun keindahannya tak melulu nampak di mata dan di hati.
Justru dengan hadirnya hujan, petir, akan mengundang pula hadirnya pelangi yang
indah. Dan aku percaya itu!
-Tulisan ini diikutkan dalam [#FF2in1] ~ Flash Fiction 2in1 Sesi 27 Maret 2013 (2) oleh NulisBuku.com-
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D