SEPULUH
Oleh : Dyah N. Rizky
Ia teman kecilku. Aku mengenalnya jauh sebelum ia mengenalku. Aku banyak mengerti sifatnya, perilakunya, serta kebiasaannya dari yang menurutku baik sampai yang tidak baik. Aku mengenal keluarganya. Aku mengenal teman-temannya. Bahkan aku hafal jadwal aktifitas hariannya. Dengan kata lain, dengan kepercayaan diriku yang tinggi, aku nyaris bisa berkata lantang bahwa aku mengenalnya lebih dari ia mengenal dirinya sendiri.
Mungkin baginya, aku hanya bayangan. Sebab aku hanya berpapasan dengannya setiap jam setengah delapan pagi, saat ia memulai aktifitasnya dan aku memulai aktifitasku. Hanya berpapasan. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa laku, bahkan tanpa sesungging senyumpun. Tragis? Tentu tidak. Sebab aku tidak membutuhkan itu. Sebab aku begitu mengenalnya. Lebih dari dirinya sendiri.
Aku tau, jika setelah ia beranjak meninggalkan rumah mungilnya, ia akan bergerak menuju ke sebuah Tempat Penitipan Anak yang menujunya, menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Setelah itu, ia akan menghabiskan waktunya hingga jam sebelas siang untuk mengajar anak-anak di tempat itu. Ia sering bernyanyi, mengaji, mengajak mereka bercanda, belajar tentang apa saja, semua yang bermanfaat untuk mereka. Setelah itu ia akan menyantap nasi campur yang dijual di warung makan tak jauh dari TPA itu, dengan es jeruk sebagai penyejuk kerongkongannya yang kering setelah beberapa jam mengajar.
Aku tau semua itu. Bahkan aku tau bahwa penghasilannya dari mengajar di TPA itu bahkan tidak cukup untuk membeli make up-nya sendiri. Mungkin hanya menutupi kebutuhan makan siangnya. Namun ia tetap bertahan. Itu juga yang membuatku bertahan. Untuk… Mengaguminya!
“Sampai kapan, Jak?!” seseorang menyentakku. Menghentikan lamunanku.
“Untuk apa lagi? Kau masih berharap?” lanjutnya.
Aku mengangkat bahu, “Entahlah, 20 tahun kurasa begitu singkat untuk mengaguminya.”
“Gila! Mau sampai seratus tahun? Mau masuk rekor MURI atau On The Spot yang judulnya tujuh kisah cinta paling tragis di dunia, lalu kau terpilih menjadi yang pertama? Begitu?!”
“Ah, jangan terlalu mendramatisir gitu lah! Aku hanya ingin menyimpannya hingga saatnya benar-benar tiba.”
“Jodoh memang ditangan Tuhan, Jak! Tapi semua butuh usaha. Tidak ada yang instant di dunia ini.”
“Aku tau. Biarlah cinta memilih jalannya sendiri!” tegasku membungkam kata-kata yang seakan akan tumpah membombardirku.
Kurasa ini sudah yang kesekian kalinya Andra mengangkat tema yang sama pada pembicaraan kami. Tema yang sebenarnya hanya ingin kusimpan sendiri. Namun Andra sudah kepalang tau, kuterima saja segala ocehannya dan makiannya atas pilihanku untuk tetap menjadi pengagum rahasia.
“Jaka…!! Jak…!!” Suara yang sangat ku kenal, memanggilku dengan teramat keras. Tak seperti biasanya.
“Anti harus pulang sekarang. Sudah jadwalnya minum obat, dan obatnya malah tertinggal di kamarnya. Ibu tidak mau terjadi apa-apa dengannya. Ibu bisa minta tolong?”
Tanpa wajah melas di hadapanku ini, nyatanya badanku tetap akan terasa ringan. Ingin segera sampai padanya, ingin terbang, kalau perlu pinjam pintu kemana sajanya doraemon. Tak perlu diminta, dengan senang hati aku akan pergi. Seperti yang sudah-sudah.
Sekarang jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjuk ke angka 1. Harusnya ia masih berada di warung nasi campur sambil menyeruput bagian-bagian akhir dari es jeruk yang dipesannya.
“Anti, ini obatnya tertinggal!” kata-kataku tersengal. Diburu nafasku yang tercekat. Sebab gugup karena bertemu dengannya dan sebab berlari sekuat tenaga untuk bisa sampai secepatnya. Maklum, warung ini terletak di dalam gang yang mengharuskanku meletakkan kendaraan jauh di luar untuk tetap bisa menemuinya.
Seperti yang sudah-sudah, ia hanya menjawabnya dengan senyum. Bagiku senyum itu bahkan sudah sangat lebih dari cukup.
“Mas Jaka kapan nikah? Kok nggak pernah kedengeran kabarnya? Mau nunggu sampai dibalap Anti, ya?”
Deggg… Wilda, teman terdekat Anti. Dia sepertinya memang memiliki indera ke-enam yang bisa menebakku tanpa harus mencari tau seperti layaknya Andra.
“Besok lusa Anti dilamar sama Mas Panji, lho! Mas Jaka udah tau belum?”
Aku menggeleng tanpa beban. Sementara Anti, yang menjadi pokok pembahasan, masih sibuk menyeruput bagian-bagian akhir dari es jeruknya. Seperti sedang berada di dunianya sendiri. Tanpa aku, tanpa Wilda.
“Aku duluan ya, makasih!” katanya, sebelum sempat menimpali perkataan Wilda barusan. Sekelebat bayangannya menghilang dari mataku. Hanya Wilda yang kini diam terpaku. Lalu menatapku lesu.
“Sampai kapan sih, Mas?”
Aku mengernyitkan kening. Ah… Pasti Wildapun sudah tau, kini.
“Apa aku tidak terlalu tua?”
“Umur kalian hanya terpaut 10 tahun ‘kan?!”
“Tapi aku tak sederajat dengannya, Wilda! Aku hanya supir kepercayaan keluarganya!!” nada suaraku meninggi.
“Lalu?”
“Aku merasa tak pantas!”
“Lalu?”
“Lebih baik tetap seperti ini dan melihatnya bahagia dari jauh. Seperti yang sudah-sudah.”
“Dan Mas Jaka akan bilang, biarkan cinta memilih jalannya sendiri? Anti sudah tau semuanya, Mas. Anti sebenarnya juga menunggu. Mas saja yang terlalu merendah dan menutup jalan kalian. Sekarang, sebelum terlambat, lakukan apa yang ingin Mas lakukan.”
Senyumku mengambang. Inginkupun begitu… namun kali ini aku benar-benar pasrah. Biarkan cinta memilih jalannya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan jejak anda di sini ya... :D