ttp://www.radarindo.com/2013/03/bara-oleh-rizky-n-diah.html
BARA
Dyah N. Rizky
… Braakkkk!!!
Suara meja yang kuhantam keras membungkam semua kata yang menguar memancing
kemelut batinku kembali.
“Nggak usah banyak omong ya, kamu!”
Hening. Semua mata menjadikanku satu-satunya objek tatapan mereka.
Mungkin diantara mereka ada yang memandangku iba, mungkin ada yang takut juga,
atau mungkin juga ada yang semakin benci karena melihatku berani.
“Siapa sih yang mau ada di posisiku sekarang ini? Abah kawin lagi,
bawa lari uang desa, lalu entah kabur kemana! Kak Nala, kakak sulungku sakit
leukimia, akhirnya meninggal tanpa sedikitpun dibayari sama Abah. Sekarang
keluarga kami dikejar-kejar rentenir, polisi, sampai jadi omongan orang-orang!
Termasuk kamu-kamu tuh! Seandainya ini terjadi sama keluarga kamu gimana? Mau?!
Nggak kan? Sama!”
Kuacung-acungkan jari telunjukku ke wajah Nina, gadis yang berdiri
di hadapanku ini, yang air mukanya sudah
berubah memerah. Kufikir, ia tak akan diam saja. Sebab ia akan benar-benar malu
dan kehilangan muka jika teman-teman berbalik membelaku.
“Tapi kamu tetap nggak pantas sekolah di sini! Lebih baik kamu cari
uang biar bisa kembalikan uang yang dibawa lari Abah kamu itu! Nggak usah
mengotori sekolahan. Nggak usah buat orang simpati dengan kisah hidup kamu itu.
Nggak ada yang kasihan!”
“Kamu itu yang mengotori sekolahan. Nggak pinter, banyak omong.
Banyakin baca buku tuh biar bisa jawab soal ujian, biar lulus. Nggak usah
urusin orang. Kamu nggak lebih baik. Orang-orang sudah pada tau, Abah kamu suka
minta amplop. Uangnya buat kamu beli baju bagus, beli make-up, beli ini
itu.”
Sempat kulihat ekspresi tak bersahabat Nona dari ujung mataku.
Memang aku sengaja beranjak meninggalkan tatapan-tatapan yang berkerumun di
kantin sekolah dimana aku berada di sana beberapa detik yang lalu. Lebih baik
aku mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, agar nilaiku bagus, dan bisa
melamar kerja guna menghidupi keluargaku. Menata kepingan-kepingan hidup yang
hancur berantakan.
Aku tak habis fikir, mengapa Allah menunjuk keluargaku untuk
menjalani hidup se-dramatis ini. Kadang aku berfikir, kisahku bak sinetron yang
sering nampang di layar kaca. Bedanya, sinetron itu banyak rekaannya, sedangkan
hidupku ini nyata.
Setiap sebelum tidur, aku selalu berdoa agar setelah aku bangun
nanti keadaan keluargaku akan kembali seperti 6 bulan lalu. Dimana Abahku tidak
tergoda dengan perempuan muda itu. Yang menurut cerita orang-orang, memang sering
datang menggoda Abahku di kantor kepala Desa. Lalu menikah lagi dengannya. Lalu
melarikan uang Desa yang diamanatkan atas nama jabatannya sebagai kepala bagian
sosial. Kemudian menghilang bak di telan Bumi meninggalkan bencana bagiku, Mamaku,
Kakak sulungku dan juga Adik bungsuku yang masih berumur 10 tahun. Membuat
orang-orang menyudutkan kami sekeluarga.
Membuat sakit leukimia begitu ganasnya menggerogoti tubuh Kak Nala.
Hingga berkali-kali menjalani cuci darah. Dan membuat Mama terpaksa meminjam
uang kepada rentenir yang kemudian mengambil sebidang tanah warisan Mama
sebagai jaminannya. Itupun masih menyisakan beberapa juta rupiah yang entah
harus dibayar pakai apa. Hidup kami yang awalnya tak pernah cukup, kini semakin
sulit. Dan sakit itu semakin diperparah
dengan kenyataan bahwa Abah tak pulang-pulang. Bahkan ketika jasad Kak Nala
dihantarkan ke peristirahatan terakhirnya, Abah tak kunjung datang.
Dan kehidupan kami selanjutnya, seperti pesakitan. Teralienasi dari
kehidupan kami sendiri. Tubuh Mama tergerus oleh masalah ini hingga menjadi
sakit-sakitan. Lelah menghadapi rentenir dan polisi yang meminta keterangannya.
Juga lelah menerima tamu sales-sales gadungan yang tak lain adalah mata-mata
polisi yang sedang bersandiwara. Meski sudah kuteriakkan berkali-kali bahwa
kami benar-benar tak tau keberadaan Abah.
Abah, lelaki yang dulu teramat kucintai. Lelaki yang sangat
penyayang, santun, lembut, bertanggungjawab dan tegas. Lelaki yang menjadi
patokanku dalam menilai seperti apa laki-laki idamanku kelak. Lelaki yang
selama ini tak kuragukan cintanya kepada Mama. Bagiku Abah adalah pahlawan,
pengayom, dan pemimpin yang baik untuk keluarga kami. Sebab Abah adalah
satu-satunya lelaki di keluarga kecil kami. Ahh… betapa aku sangat mengagumi
Abah. Aku selalu membanggakan Abah dihadapan teman-temanku.
Kini? Tak perlu ditanya lagi. Abah adalah lelaki yang paling aku
benci. Keputusannya untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan Mama merupakan
sebuah bom waktu yang ketika meledaknya menimbulkan luka yang perihnya sangat
luar biasa. Pengkhianatan nyata dari seorang Abah. Lari dengan perempuan lain
dengan membawa uang desa. Mungkin syurga dunia bagi Abah. Tapi justru menjadi
neraka bagi kami. Tega-teganya Abah!!
Air mata tak bisa kubendung lagi. Rasa sakit ini sudah mencapai
level stadium akhir. Akut. Tak ada obat yang mempan mengobatinya. Rasa benci
terus saja terpupuk tiap kali aku melihat laki-laki. Aku seperti dihantui
dendam dengan Abahku sendiri.
Kata-kata terakhir Kak Nala ketika ajal menjemputnya selalu
terngiang. Menggema di relung-relung kalbuku. “Rep, jaga Mama sama Dian.
Sekarang kamu yang jadi tumpuan keluarga. Sekolah yang pintar. Lalu cari kerja.
Maafkan Kakak meninggalkan hutang karena sakit ini.” Ah!! Seandainya… ya,
berjuta kata seandainya terus berseliweran di otakku.
Allah! Ya, aku masih punya Allah. Cukup Allah saja tempatku
bergantung dan berserah diri. Sebab tak ada jalan yang buntu bila mengharapkan
belas dan kasih dari-Nya. Semua ujian, dibaliknya, pasti terselip hikmah. Aku
yakin, Allah menguji hanya dengan batasan kemampuan hamba-Nya. Semua pasti akan
kembali baik, sebab dibalik kesusahan pasti ada kemudahan.
***
“Repa, bagaimana uang ujian kamu itu? Berapa banyak yang diperlu?”
“Nggak usah dipikirkan Ma, Repa sudah diberi keringanan sama
sekolah.”
“Mama bingung, Rep. Jualan Mama nggak ada yang laku. Orang nggak
mau beli jualan Mama. Apalagi minjami uang untuk sekolah kamu.”
Hatiku teriris. Mengapa dosa ini tertimpakan kepada kami? Jika
begini keadaannya, bagaimana kami makan? Bagaimana kami hidup?
Ah, mungkin enak jadi Kak Nala. Ia kini telah tenang dalam tidur
panjangnya. Tidak memikirkan hutang, polisi dan kejamnya mata orang-orang yang
memandang. Meskipun sempat tersiksa dengan selang-selang yang dipasang di
tubuhnya. Namun, itu adalah pengurang dosanya, bukan? Ia kini sudah bisa
beristirahat dengan tenang.
Lalu kami?! Aku lelah mengutuk diri. Sembab di mataku bahkan tak
sempat hilang ditambah sembab baru lagi. Seperti luka yang semakin menganga
setiap detiknya. Tekadku sudah bulat. Aku ingin membawa Mama dan adikku pergi.
Pindah dari kampung ini. Kalung hadiah dari Abah 2 tahun yang lalu, pasti masih
laku kujual untuk bekal perjalanan.
Mungkin ini jawaban Allah atas doaku. Jika esok Allah mengizinkan
kami untuk pergi, maka akan ada kehidupan baru atas kami. Aku yakin itu!
***
Udara kota ini segar. Sesegar nafas yang kutarik panjang hingga
memenuhi rongga paru-paruku. Setelah harus memutuskan untuk meninggalkan bangku
sekolah yang tinggal 3 bulan lagi, aku dan keluarga kecilku juga memutuskan
untuk meninggalkan kampung halaman kami.
Kini, kami terdampar di sebuah kota nun jauh dari kampung kami.
Kemarin malam, saat semua mata tengah terlelap, kami berkemas. Tak satu
jejakpun kami tinggalkan untuk mereka endus. Biarlah. Semoga Tuhan mengizinkan
kami untuk memulai hidup baru dengan tenang. Uang hasil menjual kalungpun
lumayan cukup untuk biaya perjalanan. Bahkan untuk menyewa sebuah kamar
kontrakan. Kedepannya, aku berdoa, semoga ada yang berkenan memberiku
pekerjaan. Setidaknya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Juga untuk sekolah
Dian, adikku satu-satunya.
“Baru ngontrak disini ya. De?” seseorang mengagetkanku.
Seorang wanita berparas indah nan lembut menyapa dari kamar
kontrakan sebelah. Ya, ia adalah tetangga baruku. Kuketahui itu, sebab sebelum
sapaannya, terlebih dahulu kudengar derit pintu yang dibuka.
Aku mengangguk pelan.
“Nama saya Rita. Saya ngontrak di sini juga. Belum lama, baru 2
bulan.” Kembali ia berkata ramah. Senyum tulusnya nampak mengembang diapit
lesung pipi yang membuatnya nampak semakin mempesona.
“Saya Repa. Saya disini bersama Mama dan adik saya. Tapi mereka
sedang beristirahat.”
“Oooh… lain kali main ke kamar saya. Saya kesepian disini, keluarga
jauh semuanya. Saya nggak punya teman.”
Aku mengangguk. Perempuan yang selanjutnya kupanggil Kak Rita itu kembali
menyambung kata-katanya, “Suami saya kerja di tambang. Pulangnya jauh malam.
Jadi ya, begini.”
Aku menjawabnya dengan senyum. Cerita terus mengalir darinya. Ia
sosok yang baik. Ramai dan santun. Ia bahkan berjanji akan mencarikanku
pekerjaan. Akhirnya… hidupku akan segera berubah. Hawa segar terasa meniup-niup
rambutku yang tak mampu lagi kuurus.
“Sudah punya makanan untuk makan malam?”
Aku menggeleng. Aku belum memikirkan itu. Rasanya berada di kota
ini saja sudah membuat selera makanku hilang. Aku terlampau senang. Bersemangat
menyambut kehidupan baruku. Tapi aku punya tanggungan. Ibu dan adikku. Mereka
pasti sangat kelelahan.
“Begini saja, bagaimana kalau malam ini kalian makan di kamar saya.
Saya yang memasak khusus untuk kalian. Sebagai perkenalan tetangga baru.”
Melihat ketulusan di matanya, aku kontan mengangguk. Segera
kukabarkan pada Ibu dan adikku untuk segera bersiap. Sebab mereka belum
membersihkan diri sejak siang tadi. Sepertinya mereka benar-benar kelelahan.
Isya menjelang, segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi bersama
yang terletak di ujung lorong kamar kontrakan. Tepat setelah kamar kontrakan
Kak Rita. Aku mengambil air wudhu. Bersiap melaksanakan shalat di Masjid yang
berada tepat di belakang deretan kamar kontrakan ini. Suasana Masjid memang
sangat mendamaikan hati siapapun yang singgah di dalamnya. Sehingga dapat
dengan suksesnya mencairkan segala beban hidup yang terasa berat menunggangi
bahu.
Ingin rasanya waktu berhenti ketika sedang asyik bermunajat
kepada-Nya. Agar setelahnya, tak perlu kembali ke masalah yang tengah dihadapi.
Agar gundah tak perlu datang lagi. Tapi setidaknya aku sudah cukup lega.
Terserah orang lain menilai keluargaku adalah pengecut yang hanya bisa lari
dari masalah. Toh yang bermasalah dan yang membuat masalah adalah Abah, bukan
kami. Jikalau uang itu juga dipergunakan untuk kehidupan kami, mungkin kami
bisa nerima saja jika kami juga turut bertanggung jawab. Tapi ini, tidak
sepeserpun. Bagaimana kami bisa rela?
“Abah, Kakak! Abah! Itu Abah!!” Dian menarik-narik punggung tangan
kananku. Langkahnya terseok-seok menarikku mendekat ke sosok yang menarik
pandangannya.
“Ma, Abah Ma! Itu Abah. Abah pasti mau jemput kita,” Dian juga
menarik punggung tangan Mama dengan wajah sumringah.
Mataku mengerjap mencari-cari sosok yang ditunjuk oleh adikku.
Beberapa orang tengah melintas di pekarangan masjid ini. Entah yang mana yang
ditunjuknya.
“Itu Abah, kakak!”
Adikku berlari kencang memburu sosok yang diincarnya. Seorang
laki-laki, aku tak begitu mengenalnya.
“Abah… Abah…!!” teriak Dian histeris.
Aku mengejarnya. Memburu sosoknya. Adikku bertambah histeris. Ia
menarik-narik laki-laki itu.
“Abah, Kak!! Ini Abah!!” teriaknya nyaring.
Aku mendongakkan kepala pada sosok laki-laki yang membuat adikku
histeris. Mama yang berdiri di belakang kami terpaku. Mungkin bingung mau
berbuat apa. Antara percaya atau tidak laki-laki itu adalah Abah.
Remang cahaya lampu jalan membuat mataku tak begitu tajam menangkap
wajah sosok lelaki di hadapanku. Lelaki itu sepertinya terkejut dan juga
terpaku seperti Mama.
“Ini Abah, Kakak!!” lagi-lagi adikku berteriak nyaring. “Abah, Abah
kemana saja.”
“Aduuhhh. Apa-apaan ini?” bentak laki-laki itu.
Nafasku tercekat. Suara itu…
Sorot motor yang lewat menerpa wajah lelaki itu. Dan akhirnya wajah
itu nampak dengan sangat jelas. Ia bukan Abahku…
“Ada apa ini?!” bentaknya lagi.
Aku mengambil Dian dengan segera. Mama yang menyadari hal itupun
langsung memeluk Dian, mencoba menenangkannya.
“Maaf ya, Pak!” ucapku dengan nada menyesal yang tak kubuat-buat.
Sepeninggal laki-laki itu, Dian mulai terlihat tenang. Meski belum
bisa kami bawa masuk ke dalam kamar kontrakan. Namun, beberapa detik kemudian,
ia kembali tantrum. Ketika seorang laki-laki kembali melintas di jalan raya
yang berada di hadapan kami.
“Abah, Ma… Itu Abah!!”
Dian kembali meronta. Susah payah aku dan Mama menenangkannya.
“Allaaah!!” Desisku penuh harap akan kekuatan-Nya.
“Mari saya bantu…” suara
lembut itu teduh di telingaku. Asalnya adalah Kak Rita, tetangga baruku.
Ya Rabb!! Masalah
ini juga menimbulkan efek yang tidak baik untuk Dian. Entah apa namanya…
Intinya, aku berharap kekuatan saja. Semoga semuanya menjadi lebih baik. Satu
lagi, aku berharap rasa benciku terhadap Abah bisa menghilang seiring
berjalannya waktu. Sekalipun luka itu tak mungkin sembuh tanpa bekas. Sebab
Abah tetaplah Abahku. Aku tidak ingin bara di hatiku jadi lebih membara lagi.
=selesai=
NB: Dedicated to Ukhti fillah!! My young sister in islam. Semoga
Allah menerima amal ibadahmu dan menjadikan kisahmu sebagai pelajaran bagi yang
lainnya. Amiiinn.
Tentang Penulis :
Ibu satu anak ini bernama lengkap
Rizky Nuryaning Dyah. Sejauh ini tulisannya sudah tergabung bersama rekan-rekan
penulisnya di beberapa buku antologi. Seperti antologi cerita inspiratif “Cinta
Membaca”, Leutika Prio 2012. Buku antologi cerita inspiratif “Kado Untuk
Pasutri”, Pena Nusantara 2012. Antologi cerpen inspiratif “Gara-Gara Uang”, Ae
Publishing 2012. Antologi cerpen “Secret Admirer #3”, Harfeey Publishing 2013. Dan
sebuah novel solo yang akan segera diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor
Indonesia.
Akun FB : Rizky N. Dyah